Friday, December 31, 2010

When Heart Beats Fast and Palm Goes Wet

Sekitar dua bulan silam, mudah sekali ku merasa lelah. Napas di dada setengah-setengah, sehingga sering terengah-engah. Alhasil, aku jadi parno sendiri. Hati kecilku berbisik penasaran, adakah aku mengidap penyakit jantung? Duh… dag-dig-dug deh jadinya; terlebih bila mengingat telapak tanganku yang doyan berkeringat. Orang bilang, itu salah satu gejala jantungan, OMG!!

Saat masa remaja, aku pernah berkonsultasi dengan seorang dokter internis guna mengklarifikasi hal ini. “Dok, kenapa telapak saya suka keringetan ya?” Dengan enteng tabib modern itu menjawab, “Oh, itu berarti kamu labil.” “Ooo, gitu ya, Dok”, sahutku lugu. Untung saja istilah “ababil” (ABG labil) belum happening di zaman itu.

Usiaku bertambah, telapak tangan tetap saja basah. Hal ini mengakibatkan beberapa sohibku enggan berjabat tangan denganku. “Abis tanganlu becek, Mar.” itu alasan standar penolakan mentah mereka. Namun, kendati telapak ini acap berlumur keringat, syukurlah jantung hatiku tak keberatan kugandeng setiap waktu. “That’s my girl:)” Hal lain yang menghiburku adalah genangan ‘air asin’ ini menjadikan telapak tanganku senantiasa lembut karena terjaga kelembabannya.

Acuh tak acuh, demikianlah aku menyikapi gejolak di dada kiri bagian dalam ini. Sometimes aku cuek, namun adakalanya aku over protected terhadap organ inti yang vital ini; seperti dikisahkan dalam penggalan cerita berikut:

Suatu malam aku dan beberapa rekan sejawat bermain-main ke sebuah mal yang memiliki area permainan dalam ruang. Dengan semangat yang meledak-ledak, seorang temanku yang berdialek Sunda mengajak kami memasuki wahana rumah hantu. Aaa…apa?? Langsung terbersit di benakku sosok-sosok seram yang membuat jantung terhujam. Dag-dig-dug deh jadinya! “Ayo…ayo…Mar!” teman-teman lainnya antusias mengajakku masuk ke dalam wahana gulita itu. Hmm…ikutan ngga ya?? Semakin mendekati wahana, aura angkernya kian merona. Di gerbangnya tertulis peringatan: “Dilarang masuk bagi yang menderita penyakit jantung atau sejenisnya.” Oh…tidak! Bagaimana ini? Kalau aku menolak masuk, pasti dicap penakut. Berbekal nekat, kuberanikan diri memasuki lorong gelapnya, hiiii…so so creepy! Baru dua tiga meter langkah ini menapak, dag-dig-dug-dag-dig-dug…oops, kok perasaanku ngga enak ya? Dag-dig-dug-dag-dig-dug, iramanya kian kentara, keringat di tangan mulai mendera. Aaahh…akhirnya kuputuskan untuk keluar dari mulut bangunan horor tersebut. Pikirku, lebih baik dicap pengecut, ketimbang mati terkejut. Sorry Guys, wahana yang ini aku absen dulu ya.

Semenjak peristiwa itu, tak henti-henti hati bertanya. Benarkah jantungku bermasalah? Ditambah lagi tersiar kabar ada beberapa kerabat yang dikagetkan oleh serangan fajar penyakit ini. Memang sih usia mereka jauh lebih uzur, namun bukankah bencana tak pandang umur? Apakah benar aku juga seperti mereka? Hanya satu cara untuk menjawab misteri di relung hati ini. Konsultasi dengan ahlinya!

Konsultasi ke dokter jantung. Kendati terdengar gampang, namun faktanya tidaklah mudah, apalagi murah. Belum apa-apa, hati cerewet ini sudah bertanya lagi, “Bagaimana kalau aku divonis mengidap jantung koroner akut dan harus segera dioperasi, dipasang ring atau di-bypass? Bagaimana bila ternyata sesak di dada yang telah aku rasakan adalah agresi pertama dari penyakit ini? Siapkah aku menerima kenyataan?” Belum lagi masalah biaya, dijamin akan meredenominasi paling tidak enam digit angka rupiah. Di tengah kekhawatiran, aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, klo boleh, nanti diagnosisnya jangan parah-parah ya, yang masih acceptable-lah, jadi bisa berobat pelan-pelan. Hmm…klo emang ternyata saat ini udah tergolong gawat, tolong Tuhan sembuhin dikit dulu, jadi pas diperiksa dokter udah ringan deh, OK? Thank You Lord, Amen!”

Singkat cerita, ku datangi sebuah RS dan mencalonkan diri untuk menjadi pasien di sana. Seorang Cardiologist – Interventionist (baca: ahli jantung) yang bergelar App, Sc, SpJP, FIHA kuberi kehormatan untuk meraba-raba bagian dadaku guna mendeteksi ada apa di dalamnya. Didampingi kekasih yang setia, kunantikan hadirnya sang dokter bejubel gelar itu.

Bapak Mario!” dengan santun seorang suster menyebut namaku. “Silakan masuk, Pak!” Bergegas kutuju meja sang dokter dan mengadakan perbincangan serius. “Begini Dok, belakangan napas saya kok pendek dan agak sesak ya? Terus sudah sejak kecil telapak tangan selalu keringetan. Banyak orang bilang itu gejala jantung. Nah, makanya saya ke sini, mau mengkroscek apakah benar ‘dakwaan’ mereka selama ini?”

Silakan berbaring di sana, Pak’, kita cek tensi dan detak dulu ya”, seru sang kardiologis santai. Tanpa dikomandoi, sang suster mengeluarkan stetoskop dan perangkat tensinya yang langsung didaratkan di dada datarku, “Tarik napas, Pak... buang napas... sekali lagi... napas yang panjang... buang… OK!” ujar sang perawat. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menemukan tidak ada yang salah. Kalau begitu, apakah berarti jantungku bebas masalah? Wait, is not as simple as that, Guys! Guna menerawang lebih jauh, sang dokter mengajakku untuk ikut tes berikutnya: Treadmill Test! OK, sounds cool:)!

Pada uji ini, aku harus berlari di atas treadmill yang diatur dalam empat tingkatan kecepatan. Tujuannya adalah memacu kinerja jantungku dan melihat bagaimana fluktuasi dag-dig-dug-nya. Aku ditargetkan untuk bisa mencapai minimum 85% waktu dari total menit yang ditetapkan di tiap level kecepatan. Ya, anggap saja sedang berlatih di pusat kebugaran. Yang membedakan adalah aku dipaksa mengenakan kimono tipis ala ruang operasi. Selain itu, di sekujur dada serta area six pack-ku ditempeli ‘lintah-lintah’ bundar berkabel yang terkoneksi ke komputer. Sayangnya aku tak sempat mengabadikan momen langka itu.

Bisa kita mulai, Pak?” tanya sang suster. “Bila di tengah ‘pelarian’ ini Bapak merasa sesak atau ada keluhan di bagian dada, harap segera beritahu saya,“ sambungnya ramah. “Baik, Sus. Let’s go!” sahutku penuh percaya diri. Level pertama: ibarat jalan-jalan sore sambil menanti terbenamnya mentari. Tak ada upaya yang berarti di level ini. Lanjuuut! Level dua: kecepatan di level ini membawa derap langkahku ke suasana jogging di Sabtu pagi. Meski lajunya masih relatif pelan, ia berhasil membuat bulir peluh bermunculan. Tanpa perlu strategi bulus, level dua lulus dengan mulus. Now, we’re going to level three. Conveyor di bawah kakiku berputar kian cepat, sehingga mau tak mau aku pun menambah gesitnya ayunan kakiku. Berlari konstan dengan kecepatan seperti ini membuatku harus berhati-hati dalam mengatur ritme pernapasan; huuh…haah…huuh…haah… Peluh yang awalnya hanya di pelipis, mulai merembes ke kimono tipis. Huuh…haah…huuh…haah…finally level tiga finish juga!

Masih kuat lanjut ke level terakhir, Pak Mario?” sang suster kembali mengajukan pertanyaan sambil melongok tampangku yang tampak kuyu. Seorang pria harus menyelesaikan apa yang telah dimulainya, “Lanjuut, Sus!”. Pandanganku mulai agak remang dan keringat makin bercucuran, terutama di telapak tangan yang sedang menggenggam erat pegangan treadmill, wuiih banjir euy! Napas tinggal sisaan, ngos-ngosan. Hmm…ini gara-gara lemah jantung atau memang staminaku yang ngga prima ya? Entahlah. Sekarang yang penting adalah berlari sekuat tenaga, banzai! Ya…sedikit lagi…83%...84%...85%! Akhirnya aku berhasil mencapai batas minimum waktu yang ditargetkan, well done! Proses pengetesan telah selesai, kini tinggal menunggu bagaimana hasilnya. Suster mempersilakanku berganti pakaian, sementara ia mencetak hasil rekaman jantungku yang akan dilaporkan ke Pak Dokter.

Seusai berganti kostum, aku diminta menanti di ruang tunggu. Iseng kuintip ruang sang dokter, rupanya beliau sedang sibuk mengamati lembaran kertas bergambar grafik naik-turun yang tidak lain adalah rekaman detak jantungku. “Silakan masuk, Pak Mario”, seru seorang suster dari balik pintu. Dag-dig-dug… inilah saat yang dinanti-nanti. Jawaban yang kucari sejak usia dini akan terkuak malam ini. Aku langsung meluncur ke meja sang dokter, duduk berhadapan dan saling bertatapan. Kusiapkan hatiku untuk menerima yang terburuk, lalu bertanya, “Bagaimana hasilnya, Dok?”. Di luar dugaan, sang dokter merespon dengan cepat, “Dari hasil treadmill bagus, ngga ada masalah apa-apa, jadi saya ngga kasih obat apa-apa ya, karena memang ngga ada apa-apa.” “Oooo…aku pun termangu.” Sulit rasanya memercayai jawaban dokter yang jauh di luar ekspektasiku. Masih belum puas, kubombardir sang dokter dengan pertanyaan beruntun, “Hmm… jadi klo tangan keringetan itu kenapa, Dok? Terus kalo deg-degan plus tangan berkeringat waktu naik ke tempat yang tinggi itu kenapa tuh, Dok?” Jawab sang dokter, “Klo tangan keringetan, itu biasanya karena kelenjar keringat yang berlebih (hyperhydrosis), ngga bahaya kok, cuma ganggu aja. Terus klo masalah deg-degan dan tangan basah pas naik-naik, itu karena perasaan cemas aja, sehingga memicu keringat.” “Ooo…gitu ya, ok deh, makasih banyak ya, Dok!” seruku sambil meninggalkan ruangan dengan penuh keraguan.

Ketika berada di luar, tiba-tiba aku terhenyak. Ku teringat akan doaku sebelum berangkat ke rumah sakit. Aku telah berdoa minta jamahan Tuhan; dan faktanya He has answered my prayer, jantungku divonis sehat wal’afiat! Tapi, mengapa aku justru tidak percaya saat dokter bilang jantungku baik-baik saja? Mengapa seolah aku ‘ngotot’ ingin ada sesuatu pada jantungku? Aku sudah berdoa pada Tuhan, tapi ragu tatkala doaku dijawab-Nya. “Please forgive me, GOD, karena telah meragukan pertolongan-Mu. Terima kasih banyak karena telah menyembuhkan aku, Amin!”

Apa hikmah dari cerpen panjang ini? Berdoa itu mudah, yang sukar adalah menanti jawabannya. Bahkan ketika Tuhan menjawab doa dan keinginan hati kita, adakalanya kita ragu apakah itu dari Tuhan. Seringkali kita lebih yakin kepada apa kata orang atau ‘feeling’ diri sendiri ketimbang pada apa yang nyata-nyata Tuhan telah buat pada kehidupan kita. Adakalanya kita tidak yakin apakah Tuhan mampu menjawab doa-doa kita. Kalau sudah begitu, apa gunanya berdoa? Sebaliknya, saat kita berdoa, hendaklah kita percaya bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Camkanlah bahwa Tuhan sanggup melakukan segalanya; jadi tidak mungkin ada yang mustahil bagi Dia. Betul betul betul?

Thursday, October 14, 2010

A Man Without Nails

Cowok : Babe, tolong garukin dong...

Pacarnya : Kamu kamu...manja betul deh, masak tinggal garuk aja mesti aku juga sih...??

Cowok : Please...(dengan muka memelas seraya menunjukkan ujung-ujung jemarinya)

Pacarnya : Oiya, aku lupa kamu ngga punya kuku ya :)


A man without nails. Sejak bocah hingga usia ngebet nikah, julukan itu terus saja membuntutiku. Padahal faktanya aku punya kuku kok! Hanya saja dimensinya yang cute dan ciut - berbeda dengan kuku-kuku kebanyakan - membuatnya kehilangan fungsi dasar sebuah kuku. Mengapa sampai bisa begitu?

Entah siapa yang mengajari, sedari balita, aku doyan sekali melahap bagian ujung jari yang biasa dipakai orang untuk mengupil ini. Beberapa orang suka menyindir dengan bertanya “Emang enak ya, io?” Hmm... biasanya sih berasa tawar, tapi bisa juga beraneka rasa; tergantung pada benda apa yang terakhir kontak fisik dengannya. Akan terasa manis bila ada sisa-sisa S*lver Qu**n yang tersemat di sana; dan akan terasa asin bila baru saja selesai digunakan untuk mengeksplorasi indera pernapasan kita, berasa banget gurih karamelnya;p. Hihihi....

Seiring bertambahnya digit usia, banyak hal berganti dan berubah. Polo shirt slim fit menggantikan oblong yang gombrong, rambut gondrong berbelah simetris jadi lebih kelimis, perut nan rata mulai di atas rata-rata. Satu hal yang belum berubah adalah hobi menyantap kuku-kuku renyah. Nyaris tiada hari tanpa serpihan kuku yang jatuh ke tanah. Awalnya tak terbersit niat untuk menggerogotinya, namun di luar kesadaran, kerap jari yang satu bergerak sendiri mengadudombakan kukunya dengan kuku di ujung jari lainnya. Ketika sudah ada yang kalah dan terbelah (bahkan kadang berdarah), barulah diri ini menyadarinya. Sayangnya, ketika itu terlambat sudah. Kuku yang gugur terpaksa harus di-manicure; dan bila tak ada alat yang yang memadai, maka gigi serilah yang mengeksekusinya. Itulah sebabnya mengapa panjang kuku-kukuku tak pernah melampaui ujung jarinya, wong ngepas di ujung saja belum pernah;p .

Berjuta komentar, kritik dan saran dilontarkan kepadaku perihal kebiasaan 'unik' ini. Salah satu yang masih hangat kuingat hingga detik ini adalah komentar dari sang bunda, katanya "Ih, lu ngga malu ya, udah gede masih gigitin kuku. Ntar klo udah kerja, di kantor gigitin kuku, diketawaain orang-orang lu: Lihat tuh, Pak Mario lagi asik gigitin kuku, hehehe..." Kadang bosan menghadapi komentar seperti itu, namun terlebih bosan lagi menghadapi kenyataan berulang kali gagal dalam 'puasa' mengonsumsi 'cemilan' yang notabene tidak higienis itu. Satu-satunya kemenangan 'puasa' terjadi ketika aku diopname kelas 3 SD. Kala itu aku berhasil untuk tidak menjamah kuku-kuku tersebut selama beberapa hari karena tangan kiriku terborgol oleh selang infusan.

Kebiasaan mendarah daging ini terus berlanjut. Ketika sedang membaca, melamun, atau menonton TV, para jemariku diam-diam menyabung kuku-kukunya. Peringatan dan teguran dari orang-orang terkasih tak hentinya merema di telinga, namun aku cuek saja. "Lagi tanggung nih, dikiiiit lagi...", begitulah biasanya responku. "I know very well about my nails, and I know what is the best for them." Toh, gw ngga mengganggu dan merugikan siapa-siapa kan? Kan? Kan?

Pada suatu hari, saat aku sedang mencoba fokus di kelas mendengarkan kuliah finance di kampus tempat kursusku, tiba-tiba terdengar bunyi yang tak asing di kuping. Tek..tek..tek... "Suara apaan ya? Pelan, tapi ganggu banget tau ngga sih? Tek...tek...tek... Kulongok teman sebelahku, nah! Ternyata dialah penghasil noise tersebut. Kedua tangannya sedang berada di kolong meja. Ngapain? Rupanya dia tengah menduelkan kuku-kuku di jemarinya, sehingga terjadilah benturan di antara mereka dan menciptakan bunyi yang cukup annoying. Mau kutegur dia karena telah membuyarkan konsentrasiku, tapi kuurungkan niatku. Karena yang dia lakukan tak ubahnya dengan hal yang selama ini aku lakukan. Oh malunya hati ini, cuma bisa mesem-mesem sendiri sambil 'gigit jari'. He is also a man wihout nails.

Grrrr....kita pasti grrrr...regetan bila melihat sikap orang lain yang mengganggu? But waiit...sebelum sebel kita kian tebel, ada baiknya kita ngaca dulu. Sebab acapkali "sepasang balok besar tak nampak di pelupuk mata, namun selumbar di mata orang terlihat." Di kala bercermin, coba perhatikan: jangan-jangan 'wajah' kita mirip dengan orang yang tidak kita sukai itu? Atau awalnya 'tampang' kita memang jauh berbeda, namun lambat laun kok layaknya saudara kembar ya? Ini bisa saja terjadi bila di hati kita terlampau banyak mengoleksi benih-benih kekesalan pada orang yang bikin gregetan itu. Alhasil, buah yang kita hasilkan menyerupai buahnya.

Dari kisah kuku yang ngga penting ini, setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita petik. Pertama, terimalah segala kritik dan saran dari orang lain dengan telinga yang dewasa dan hati yang terbuka; karena hal itu baik bagi pertumbuhan kita. Kedua, buanglah jauh-jauh benih kekesalan (kegeraman, kepahitan, dkk) terhadap seseorang bila kita tidak ingin tumbuh menjadi saudara kembarnya. Sebaliknya, maafkan dan tegurlah dia dengan kasih, sehingga kita dapat membawanya kembali ke jalan yang benar. Finally, yang ketiga, janganlah tergesa-gesa dalam menghakimi seseorang, melainkan perbanyaklah waktu bercermin diri. Saat kita bercermin, tanyakan dalam hati, "Apakah dalam cermin ini kita masih bisa melihat blue print-nya TUHAN, Allah Sang Pencipta kita?"

Writer's note:

Berbicara itu mudah, ibarat selembar latihan pilihan ganda di dalam kelas.

Menulis itu agak sulit, layaknya pekerjaan rumah menyarikan satu bab mata kuliah.

Melakukan apa yang dibicarakan dan yang dituliskan itu sangatlah sukar, bak ujian essay harian dengan materi satu perpustakaan yang menentukan kelulusan. That's integrity!


Payung Kertas Koran



(sebuah kisah tua yang ditulis masa SMA, yang berpesan: "makanya jangan sok tahu...")


Hari itu, matahari sedang obral besar-besaran. Panasnya diumbar habis sampai-sampai
cool case (baca: kulkas) ku turut kegerahan. Saking teriknya, siang itu pun menjadi bolong. Layaknya anak yang baik, aku duduk manis melipat tangan di kamarku yang sumpek. Bosan!! Ingin main diluar, tapi tak beroleh izin…

Bu, aku main sepeda ya?” kataku.

Sahut ibuku, “Jangan Nak, nanti kau hitam, terus mimisan!“

Lalu ku bilang, “Tenang Bu, aku bawa payung kertas koran kok!“

Jangan Nak, payung itu takkan sanggup melindungimu!“ kata ibuku.

Dan aku pun membalas, “Don’t worry Bu, payung itu buatanku, jadi pastilah ia sekuat aku!“

Ibuku tetap saja melarang, “Jangan, lagipula ibu dengar nanti akan turun hujan lho!”

Lalu kutanggapi dengan sombong, “Jangankan hujan Bu, dengan payungku ini badai dan ombak sekalipun akan kuterjang tiada takut! Bukankah nenek moyangku seorang pelaut…??“

Ibuku tetap bersikeras, “Jangan Nak…!“

Akhirnya meski tanpa restu ibunda, aku nekat pergi juga, “Daa Ibu…!!“

Diatas sepedaku, kulompati pagar berkawat…& mulai mengayuh. Wah, siang ini benar-benar ‘hot’ rupanya. Ubun-ubunku mulai hangat, kulit kepala mulai berkeringat. Tapi tenang, aku bawa payung…payung kertas koran!!

Penuh percaya diri, kuberaksi dengan payungku, jebret…!! Lumayan, walau nampak seperti ‘Sarimin pergi ke pasar’ setidaknya ketombeku takkan menghangus. Tak lama kemudian, langit nampak muram…lalu, tes..tes..tes.. berdatangan bayi-bayi air dan mulai merangkak-rangkak diatas payung koranku, mereka menamakan diri mereka: gerimis. Bagiku mereka bukan masalah, paling-paling mereka hanya melunturkan tinta-tinta tulisan yang tertera pada kertas koranku. No problema..!

Sambil bersiul ku menggoes pedal, nikmati rintik gerimis mengglitik. Namun tiba-tiba, ada yang menyambar atap koranku! Aku pun berteriak : “Copet, maling, jambret!“. Lho, kok tak ada siapa-siapa ya? Ternyata adalah segelintir petir yang bertanggungjawab atas bumihangusnya atap payung kertas koranku. Kini yang kugenggam tinggallah gagang, yang nampak garing karna terpanggang.

Hujan badai kian menggila. Bayi-bayi gerimis telah menjelma tumbuh dewasa. Mereka mengguyur, menertawakan, serta mengajak angin ribut mencemooh keadaanku. Sekarang aku kedinginan, malu, lapar, serta terserang flu.. haacii..haaacuii...!! Akhirnya dengan kepala tertunduk dan muka kuyu, aku pulang ke pelukan ibu. “Bu, tolong kerokin aku ya.”

Kapok? Ya, itulah akibatnya kalau kita keras kepala. Seringkali kita terlampau sombong & ‘ogah’ mendengarkan nasehat dari orang lain. Nasehat baik mereka kita tolak mentah-mentah dan justru kita hanya mengandalkan kemampuan kita sendiri yang sebenarnya hanyalah sebuah ‘payung kertas koran’. Kita malah merasa ‘sok kuat’, padahal nyatanya tidaklah demikian. Ingatlah, kita ini makhluk yang terbatas dan kaya akan kelemahan. Jadi, janganlah ‘sok berjalan sendirian’. Bersandarlah pada Tuhan, patuhlah pada orang tua, dan jangan abaikan nasehat orang lain; setuju?”


Sayembara di Surga


Suatu ketika Surga menggelar sayembara, gemanya menggemparkan nusantara. “Urgently required!” seru Mikael (malaikat berkebangsaan Inggris). Dicari: seorang laskar dan seorang pejuang yang akan ditempatkan di bawah pimpinan Kristus, Sang Anak Allah. WooW! Sungguh suatu kebanggaan dan kehormatan yang tak tertandingi bila dapat terpilih! Tak heran, kompak serempak seluruh warga nusantara berdesakan mendaftar, rapih berbaris dalam waiting list. Tibalah giliran pertama.

Muncullah seorang pendekar. Dengan percaya diri yang berkelimpahan ia berkata: “Dengan jurus-jurus yang telah kuhafalkan dan kulatih dari masa ke masa, aku yakin seyakin-yakinnya, pastilah aku yang paling cucok untuk menjadi laskar Kristus!”. Namun dengan lirih Mikael berkata: “Tue pu chi Mr. Lee, bukan Anda yang kami cari. Say sayonara to this sayembara, sampai jumpa lagi.”. Next!

Majulah seorang milyarder, yang kalo ngitung duit keder (saking banyaknya). Katanya seraya mengipas-ngipas gepokan gobanan: “Dengan harta yang kumiliki ini, rasanya akulah yang paling layak duduk di kursi pejuang di bawah pimpinan Kristus. Bahkan dengan uangku, aku bisa menjadi investor asing di tanah Surga ini!” Lalu sahut Mikael: “I'm really sorry Mr. Richie, tapi saya rasa uang Anda saja takkan cukup untuk biaya peremajaan Jl. Raya Surga Blok H1 yang beraspalkan emas ini. Bye-bye, please check your belongings and step carefully, thank you.” Next, next...

Lalu datanglah seorang belia menuntun seorang lansia (mungkin engkongnya). Anak belia ini berkata: “Aku tak punya apa-apa Pak Mikael, tapi aku pengen banget jadi laskarnya Tuhan. Kapan saja Tuhan butuh dan mau pakai aku, aku akan siap sedia.” Kemudian sang kakek menyambung: “Iya, saya juga Nak Mikael, saya orang ngga punya. Tapi sebagai rasa sukur saya sama Tuhan selama hidup saya, ijinkan saya jadi pejuangnya Tuhan. Saya akan mengabdi, saya akan setia.” Ehm...ehm... sambil terharu malaikat Mikael berkata: “Bapak-bapak, ibu-ibu yang saya kasihi di dalam Tuhan, saya rasa sayembara kali ini telah selesai. Silakan bapak ibu pulang dan mempersiapkan diri untuk sayembara berikutnya. Bubar jalan!” A...apa?? What?? Warga pun terus bertanya-tanya. How come Mr. Mikael??

Kemudian dengan penuh wibawa dan mulia, Kristus bangkit dari takhta-Nya dan berkata: “Tatkala aku mencari laskar, aku bukan cari yang kekar, atau yang sudah pakar. Ketika aku mencari pejuang, aku juga tidak mencari yang beruang. Yang kucari adalah hati. Tak peduli belia atau lansia, asalkan s'lalu sedia serta setia.”

Dimsum (hangat, penasaran dan all you can eat)

Kasih itu dimsum, ia selalu saja hangat
Masa bodoh di luar sedang musim dingin

Cinta itu dimsum, bikin penasaran
Apa sih yang ada di balik bilik tabung bambu itu?

Sayang itu dimsum, prinsipnya all you can eat
Walau sudah buncit, ia tak pernah kenyang, selalu ada dan ada lagi

Dahulu 'ku suka mantau, tapi tidak lagi sejak ada hakau
Dulu hatiku selalu merantau, namun tidak lagi sejak ada kau :)

Happy birthday My Hakau :)
Wish all ur prayers & wishes come true, Amin!

Glusdi

(dedicated to Nidya, on her 25th birthday, 12 May 2010)

Wednesday, September 8, 2010

Kalau Libur Jangan Lembur


Siapa yang setuju dengan judul di atas boleh angkat tangan. Mungkin sebagian besar kita 100% agree, atau malah menggeleng 180 degree. Terserah, sah-sah saja. “Libur-libur gue, apa urusan lu ngatur-ngatur!” Calm down, sabar dulu, Bro. Melalui tulisan ini, saya cuma pengen sumbang saran, sekalian ngisi waktu liburan.

Kalau libur jangan lembur. Emangnya kenapa? Bukannya justru kalau bisa lembur ngapain libur? Bila kita berpendapat demikian, setidaknya ada dua dugaan. Sebelumnya mohon maaf bila dugaan saya meleset, namanya saja dugaan.

Dugaan pertama: 'workaholic' is our middle name. Giat bekerja adalah hal utama yang tidak wajib dilakukan bila tidak ingin berhasil. Tekun, rajin, dan setia; kudu dilakoni bila ingin sukses. Sedangkan menjadi gila (baca: gila kerja), bukanlah jaminan mutlak keberhasilan. Sebenarnya, ‘giat bekerja’ dan ‘gila kerja’ adalah dua hal yang berbeda tapi nyaris satu jiwa. Seorang yang giat bekerja melakukan banyak pekerjaan; sementara seorang workaholic kerjaannya cuma satu, yaitu kerja. Gila kerja adalah giat bekerja stadium empat.

Dugaan kedua: kita sedang ‘ngejar setoran’. Saya mengerti betul bagaimana nikmatnya lembaran rupiah hasil lemburan, apalagi buat Lebaran. Tarifnya yang berlipat ganda, tak kunjung habis dibuat belanja. Kejar setoran adalah hal yang wajar, terlebih bagi yang sedang merajut masa depan yang mapan. Banyak kebutuhan, butuh banyak pemasukan. Bisa diterima?

Namun, bila kita termasuk si workaholic, di mana hobi utama kita adalah bekerja; alangkah baiknya di masa libur ini kita ‘kabur’ dari kemumetan kerja sehari-hari. Liburan adalah anugerah Tuhan yang mahal harganya. Jadi, gunakan menit-menit ini untuk mengistirahatkan diri, jangan sampai jam istirahat Tuhan yang lebih dulu berlaku.

Bagi kita ‘pengejar setoran’, lembur di hari libur pasti bukanlah hal baru, apalagi tabu. Mungkin saja kita terpaksa ‘berlari’ karena deadline that scared us to death, tuntutan ekonomi, profesionalisme, dan sejumlah alasan mulia lainnya. Akhirnya, mau tak mau kita tetap bekerja di hari libur. Tetap semangat, tetap lakukan yang terbaik, dan tetap makan siang bila sudah tiba waktunya.

Eh...kalau libur jangan lembur, berarti boleh sepuasnya tidur! Wah asyiikknya! Tunggu, jangan girang dulu, Gan. Masih ada satu pesan, yaitu: “Kalau libur jangan nganggur!” Sebab masa-masa tenggang seperti ini terlalu berharga untuk dihabiskan layaknya mengonsumsi barang gratisan. Kita bisa saja ongkang-ongkang di kursi goyang warisan eyang, dari subuh hingga petang. “Mumpung lagi libur,” begitu argumen kita. Tapi, setelah itu apa yang kita dapatkan selain predikat “malas” dari orang serumah? So, mau ngapain dong libur-libur gini?

Refreshing, cleaning and doing hobbies adalah tiga hal yang terbersit di paragraf terakhir ini. Refreshing berarti menekan tombol F5 diri kita berulang-ulang hingga kita benar-benar disegarkan, baik secara raga, jiwa maupun roh. Penyegaran jasmani dapat kita lakukan dengan beristirahat yang cukup, bertamasya ke luar kota, mudik ke luar negeri atau paling tidak studi banding dari mal ke mal. Penyegaran rohani dapat kita lakukan dengan bermeditasi, mengintrospeksi diri di hadapan Tuhan dan mensyukuri berkat serta penyertaanNya, yang selama ini terabaikan dalam keseharian kita. Cleaning adalah kegiatan bersih-bersih. Bersih-bersih kamar, almari dan isi tas yang selama ini teranaktirikan karena kita sibuk mencari nafkah. Cleaning juga berarti membuat komitmen baru untuk meninggalkan hal-hal yang kotor dalam diri kita. Sedangkan doing hobbies berarti melakukan hanya hobi yang postitif dan memberi nilai tambah, di antara hobi-hobi kita yang useless AKA non value added. Finally, happy holiday, Friends!

Prayer: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.”

Writer’s note:

“The hardest thing in writing is not to find the idea, is not to find the perfect words, or to develop the topic sentence. But, the hardest thing in writing is to live accordance to what you have written. Thanks a lot for reading! “

Thursday, June 24, 2010

Feel Blue

Terisak-isak... seperti habis menangis semalam
Kelopak mata bengkak, nampak bak kena hantam
Nafas ini sesak seolah hampa mendesak
Indera penglihat berkaca-kaca, mendramatisir sang air muka

Flu, makes me feel blue...

Tuesday, June 1, 2010

Mau Nyuri Mikir 2x, Mau Memberi Mikir 20x


Bukan kebetulan, bila detik ini aku mencari nafkah di sebuah perusahaan yang betul-betul peduli akan kebugaran para karyawannya. Bagaimana tidak, tiap pagi hari (kecuali di bulan suci) masing-masing kami disuguhi segelas plastik mungil susu segar berwarna-warni. Saking fresh-nya, jika ditelantarkan selama tiga jam di luar kulkas, susu tersebut akan kadaluarsa alias basi (katanya sih begitu).

Sayangnya, hanya segelintir dari kami yang gemar menenggak minuman sehat tersebut. Terus terang, selama nyaris sembilan bulan aku bekerja di sini, baru segelas saja yang berhasil membasahi kerongkonganku. Apakah karena rasanya tidak enak? Aah, ngga juga! Hanya saja citarasanya kurang nikmat. Lalu, bagaimana nasib kawanan susu karyawan itu? Tiada pilihan, hidupnya berakhir di pembuangan.

Bersyukur ada salah seorang temanku yang kreatif dan baik hati. Dua hari silam ia bercerita, “Eh, kemaren pas Sabtu gw lembur, susu-susu yang nganggur itu gw masukin kulkas, pas sorenya gw pulang, gw bawa n bagi-bagiin tuh ke anak-anak jalanan. Mereka seneng banget loh!” Spontan aku merespon, “Iya ya, ketimbang dibuang sayang, better dikasih ke anak jalanan ya!” Seorang temanku yang lain menyambung, “Iya Mar, besok lu bawa aja, pas pulang lewatin lampu merah, lu kasih deh tuh anak-anak yang nongkrong di sana. Besok pagi-pagi benar, susunya gw masukin kulkas deh, tapi sorenya jangan lupa lu bawa ya. Eh, sisain dua gelas ya, biasa, buat pembantu gw di rumah, OK, OK?” Sahutku, “Hmmh...eeee....iiii....ya, iya deh Ci.”

Esok pun tiba! Bak putri-putri perawan di atas permadani, susu-susu cantik itu datang di atas nampan, ditatang sang office boy tampan. Begitu mereka mendarat di meja, temanku bergegas memasukkannya ke dalam lemari es. Tak lupa ia berpesan, “Mar, nanti sore jangan lupa lu bawa ya.” “OK, Ci”, jawabku seraya mengangguk.

Jam kantor terasa cepat sekali. Belum dalam cekungan kursi kerjaku, sudah pukul 16:30. Yes, waktunya beberes, cabcuz! Oiya, para susu masih berada di kulkas! Kubuka pintu lemari es, ternyata mereka berlima sedang menggigil di sudut rak terbawah. Kupandang mereka, mulailah timbul kebimbangan dalam hati ini. Mendadak benakku digerayangi sejuta pemikiran dan pertanyaan yang berupaya menggagalkan rencana pembagian susu ini. “Siapa yang bakal gw kasih ya?” “Kayaknya pas pulang gw ngga lewatin lampu merah deh.” “Gimana kalau susunya ternyata udah basi ya? “Kalo anak-anak yang minum jadi diare gimana?” “Gimana kalo nanti ortunya nuntut?” “Wah, kalo besoknya gw dicegat di jalan gimana?” “Kalo....?” “Kalo...?” Stop! Dengan lembut, suara hatiku menyela dengan logat Alm. Gus Dur, “Mau ngasih orang aja kok repot?” Akhirnya, tanpa pikir panjang, kuraih kelima susu dari kulkas, kusekap dalam amplop bekas. “Susu, minumlah selagi dingin.” menjadi ‘subject’ di cover amplop itu.

Sepanjang perjalanan pulang dengan Honda, mataku jelalatan menjelajahi kolong jembatan. Menyisir tiap bujur trotoar, ibarat radar pencari rudal. Ahaay! Itu ada dua bocah bertelanjang kaki berlarian di trotoar. Tak diragukan lagi, mereka pastilah anak jalanan! Yaah....sayang aku sedang melaju kencang di lajur tengah. “Sayonara Dik, lain kali ya.”

Kurang dari satu kilometer lagi aku akan tiba di rumah, tapi ‘target’ belum juga muncul. Gimana nih? Sengaja aku jauhkan ruteku, melewati lampu merah yang biasanya tidak perlu aku lalui. Belum sampai ke garis depan, ada lima anak (salah satunya menggendong bayi), berpapasan denganku. Akhirnya, tanpa basa-basi, kuserahkan bungkusan susu itu kepada yang mengasuh bayi, “Dik, ini ada susu.” “Terima kasih, Pak”, sahutnya dengan nada datar, tanpa senyum yang berbinar. Aku langsung tancap gas, mission accomplished, thanks GOD!

Sungguh aneh tapi fakta. Seringkali saya, atau mungkin kita, lebih ‘penuh pertimbangan’ tatkala ingin melakukan perbuatan baik, ketimbang yang tidak baik. Lebih ‘berpikir masak-masak’ bila mau memberi daripada bila mau mencuri. Ketika mau melakukan hal yang buruk, ada berapa pertanyaan yang kita lontarkan pada diri kita? “Apakah ini salah?” “Apakah ini merugikan orang lain?” “Apakah ini menyakiti Tuhan?” “Apakah ini berdampak negatif bagi diri kita sendiri?” Lumayan, paling tidak ada empat pertanyaan. Namun, coba bandingkan dengan jumlah pertanyaan yang muncul saat misi mengantar susu tadi?

Hal berikutnya ialah seberapa besar kita mengharapkan ucapan terima kasih dan senyuman kepuasan dari orang yang kita beri atau layani? Saya pribadi sangat bersukacita bila melihat orang yang saya beri atau layani tersenyum dan meluap-luap penuh ekspresi syukur. Namun itu bukan hal penting, bahkan acapkali karena hal itulah kita jadi membusungkan dada dan merasa berjasa secara berlebihan; hingga jatuh dalam kesombongan. Hendaklah saat memberi, kita tidak mencari senyuman di wajah orang yang kita beri; melainkan di wajah Dia, yang memberi kita kesanggupan untuk memberi. Tuhan Yesus memberkati.

Memberi tidak pernah membuat kita “miskin”, justru hanya “orang miskinlah” yang tidak pernah memberi.

“... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Wednesday, March 31, 2010

Pasti Ku buka, tak perlu kau paksa

“Andai saja semalam aku tak memaksa dan tergesa-gesa, pastilah aku takkan selelah ini.”

Malam itu, selepas office hour, aku bermain basket bersama teman-teman sepermainanku. Sengaja kusempatkan waktu, mengingat semenjak ‘tenggelam di asinnya’ dunia kerja, raga ini jarang diolah. Akibatnya, lingkar pinggang mulai mekar, garis-garis six pack pun kian samar. Bisa berabe nih!

Permainan berlangsung santai namun seru. Meski tak diwarnai aksi dan trik-trik memukau ala abas (baca: anak basket), yang penting kami bersenang-senang, pokoknya keringetan :)! Singkat cerita, jam sewa lapangan usai, permainan mau tak mau selesai. “Goceng Mar, goceng John, goceng...” salah seorang temanku ‘memalaki’ kami untuk saweran biaya sewa lapangan.

Guys, makan yukz! Mau Kumis (nick name owner kedai ropita) atau Eko (nama abang nasgor)?” ajak Anest, salah seorang sohibku. Memang ‘cooling down’ yang paling tepat setelah berolahraga berat adalah makan berat. Maka tak heran bila efek badan kurusan sehabis berolahraga hanyalah fatamorgana. Tanpa pikir panjang, kuiyakan ajakan menggiurkan itu dengan senang hati. Semangkuk bubur ayam tante (tanpa telur) plus segelas teh tawar hangat, genap menjadi hidanganku malam itu. “Lumayan, murah meriah, cukup tiga lembar dua-ribuan baru saja. Perut kenyang, mari pulang!”

Aah, akhirnya ku sampai juga di depan rumah. Fiiuuh... basket sungguh membuat badanku basah dan lengket!” Rasanya ingin sekali segera menyeka tubuhku dengan air hangat-hangat kuku. Ku-standard-kan sejenak sepeda motorku, lalu turun dan membuka pagar. Begitu pagar ternganga, aku langsung menunggangi motorku dan menerjang masuk menuju muka pintu utama. Kupepetkan roda depan ke daun pintu, sementara tangan kananku menggapai gagang pintu guna membukanya. “Ngek-ngok, kok ngga kebuka-kebuka ya? Padahal biasanya ngga dikunci kok? Yaa... (nama panggilan kakakku), bukain dong! Ngek-ngok, ngek-ngok...

Tubuh yang penuh peluh, membuatku kesabaranku cepat luluh. Terus-menerus kugoyangkan gagang pintu dengan paksa, kian lama kian anarkis. Kakakku pun akhirnya datang, berniat membukakan pintu dari dalam. Lho, kok tetep ngga bisa juga ya? Ia pun memanggil bala bantuan, “Ma...!” Ayah bunda ku keluar dari kamar mereka, mencoba membukakan pintu bagi putra tercinta mereka :). Namun walau gagangnya terus digoyang, tetap tiada tanda-tanda akan meregang. Pintu jati yang sejatinya menjadi gerbang masuk istanaku, kini berubah menjadi benteng musuh yang tersegel rapat. Rupanya pegas di gagangnya telah rusak akibat kebrutalanku tadi.

Praktis, satu-satunya jalan masuk yang masuk akal adalah via jendela. Layaknya pencuri yang menggarongi kediamannya sendiri, kubobol teralis besi jendela kami demi dapat masuk ke rumah. Namun sebelum itu, aku harus menitipkan sepeda motorku di tempat tinggal saudaraku, karena tungganganku itu tak bisa masuk lewat jendela. Syukurlah jarak rumahku dengan rumah saudaraku hanya sekitar 700 meter saja. Setelah motor dititipkan, aku pun napak tilas menuju my home sweet home. Capek? Rasanya tak perlu kujawab. “Andai saja aku tak memaksa dan tergesa-gesa, pastilah aku takkan selelah ini. Hmmh... anggap saja olahraga ekstra,” hibur diriku dalam hati.

Dalam hidup, sadar atau tidak, terkadang kita memaksa untuk membuka “pintu-pintu” di depan kita, baik itu “pintu masalah”, “pintu permohonan”, “pintu percintaan” maupun “pintu-pintu” lainnya. Ketimbang mengetuk dan menanti dengan sabar pintu dibukakan, kita lebih suka membukanya sendiri, dengan cara, gaya dan kekuatan kita sendiri. Kita begitu tergesa-gesa ingin masuk untuk menemukan jalan keluar yang kita asumsikan pasti ada di balik pintu tersebut, saat itu juga.

Saat kita berdoa pada Tuhan, memohon Tuhan menyelesaikan suatu masalah, kita titipkan pesan sponsor: “Tuhan, minggu depan harus sudah beres ya.” Tatkala seminggu berlalu dan masalah belum juga lalu, kita mulai bertindak sendiri, ‘lupa’ bahwa kita telah menyerahkannya pada Tuhan. Saat kita memohonkan suatu berkat, namun Tuhan belum memberikannya, kita terus ‘menodong’ Tuhan untuk segera menurunkan berkat itu. Tak jarang, karena ketidaktaatan kita menanti berkat Tuhan, kita memaksakan diri mencarinya di tempat lain, meski notabene kita tahu bahwa hanya Tuhanlah Sang Sumber Berkat. Ketika kita meminta Tuhan memberi petunjuk tentang jodoh yang tepat dan sepadan buat kita, kita terlebih dahulu membawa seabrek kriteria kita, yang nyata-nyata kita tahu bertentangan dengan kriteria Tuhan. Alasannya klise, sudah kadung cinta.

                Marilah kita sama-sama belajar untuk sabar dan tidak memaksa Tuhan ataupun memaksakan diri kita sendiri. Kita terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas. Bukankah lucu bila ‘yang terbatas’ memberikan syarat-syarat kepada Yang Tidak Terbatas? Kita tidak tahu tentang masa depan, namun Tuhan Maha Tahu. Bukankah gila bila ‘yang tidak tahu’ memaksakan kehendaknya kepada Yang Maha Tahu? Bila detik ini kita sedang berhadapan dengan sebuah “pintu”, berdoalah, ketuklah. Mohon Tuhan yang membukakannya. Bila memang itu adalah pintu yang terbaik, kata Tuhan: “Pasti Ku buka, tak perlu kau paksa.” Tuhan Yesus memberkati.

Saturday, March 13, 2010

Maap-maapan yuk!

Dalam kamus keterlambatan selalu ada kata maaf,

namun dalam kamus memaafkan tidak pernah ada kata terlambat.


Kar'na kesalahan mengingat, janji bisa berakhir batal. 

Kar'na mengingat-ingat kesalahan, relasi bisa berakhir fatal.


Bila Anda tetap tak mau 'melupakan' kesalahan orang lain,

maka 'maklumi' Tuhan bila Ia membuat Anda pikun :)


Maapin gue ya, Teman-teman :)

MENU Cinta

Cinta membuat kita terMENUng di bibir jendela

Cinta mampukan kita MENUnggu sabar isi hati si dia


Cinta membawa imaji MENUju angkasa

Cinta MENUmbuhkan semangat untuk berkarya


Cinta MENUsuk hati tatkala dinoda amarah

Cinta rela menderita demi MENUai bahagia


Cinta takkan MENUmpul walau ditempa problematika

Cinta 'kan tetap ada meski jasad MENUa


CINTA adalah lima aksara, mewakili kita berdua, Me 'n U :)




Wednesday, March 10, 2010

Mau Kering Malah Garing

(Sebuah kisah nyata. Cerita lebay yang tidak penting, namun bisa memberi pelajaran. Semoga saja;p)

Ketika itu aku sedang berada di ruangan kantor tempat kerjaku, berkutat dengan jubelan angka di depan mata. Tiba-tiba, nampak kilatan cahaya dari bilik jendela, disusul bunyi menggelegar beberapa detik berselang. Petir, seolah ingin membuatku khawatir. Dengan lantang, ia membuka kedatangan sang hujan. "Untunglah aku aman, tidak sedang di jalan," pikirku. Tapi tiba-tiba ku teringat sepeda motorku yang bertengger di lahan parkir beratapkan langit. "Yah, motorku basah deh. Oiya, helmku tercintaku juga ada di sana, hmm... apalah daya."

Singkat cerita, jam kerja usai, aku pun pulang dengan memakai helm yang basah luar dalam. Lembab, berpotensi membuat sakit kepala, dan bau tak menyenangkan, 'apek'. Ingin rasanya kujemur helm ku, namun hari sudah gelap, di mana aku mencari cahaya mentari malam-malam begini?

Ahaa... ini sudah zaman modern! Bukan hanya sinar mentari yang mampu mengeringkan sesuatu. Ada teknologi yang bernama "Hair Dryer"! Kuaduk-aduk kotak rias kakak perempuanku, dan syukurlah, ia memilikinya :). Akhirnya kulepas busa yang ada di dalam helm tersebut, kuletakkan di meja, dan kubiarkan ia ditiup oleh nafas panas si hair dryer, lumayan. Kubiarkan hingga malam, dan kuhentikan saat aku beranjak ke ranjang.

Keesokan harinya, saat kubangun. Aku longok ke kedalaman helm ku, hmmm... busanya boleh kering, tapi jeroannya belum nih, masih lembab, bahaya bila jamuran. Akhirnya, kukeluarkan lagi senjata semalam (the hair dryer), kuhidupkan dengan hembusan maksimal, dan kuletakkan di dalam helm ku. Sambil menunggu, aku pun pergi mandi, bersiap diri untuk bekerja.

Duu...duu...duu... saat ku sedang asik meluncurkan sabun di ruas dan kelok tubuhku, tiba-tiba ibuku berteriak dengan nada heboh, "Yo, helm lu kebakar!!" seraya panik. Apa? Aku pun sontak keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Astaga.... kulihat helm tercintaku sedang bergumul dalam balutan api setinggi bocah kelas 4 SD, ia terguling di lantai sambil meringis kepanasan! Aku sempat panik, namun mendadak terngiang mengenai cara memadamkan api yang baru saja kudapat di kantor beberapa hari silam. "Handuk basah, selimuti obyek dari arah yang berlawanan dengan lidah api." Tanpa pikir panjang, segera kusabet handuk ibuku di rak, kutenggelamkan di bak, lalu kutebarkan di atas helm ku... Nyessss.... seketika itu juga si jago merah tewas, rohnya membubung dalam rupa asap keabuan. Helm ku telah mengalami luka bakar serius, yang merusak wajah mulusnya.

Setelah suasana mendingin, kuselidiki penyebabnya. Ternyata adalah si hair dryer yang menjadi pemicu kobaran api tadi. Karena berhembus terlalu 'hot' di dalam tubuh helm ku, ia mengalami tegangan tinggi hingga mengakibatkan korsleting dan percikan api. Ibarat romeo bertemu dengan juliet, percikan api kecil tadi berkontak fisik dengan bahan plastik di bagian helm, sehingga api kian membara, dan akhirnya menghanguskan mereka.

Kini hanya dapat kupandangi helm tercintaku, yang bentuknya tidak lagi ergonomis dengan belahan daguku. Mohon maaf Sobat, aku hanya ingin kau menjadi kering, tanpa maksud membuatmu garing.







 





(Dedicated to my lovely helmet that burned on last Nov 2009)

Thursday, January 14, 2010

Between Love and Time

When you fell in love at the first sight, no need time to all

But when you want to keep the love, time will be your wall


Cinta butuh waktu, waktu dapat mendatangkan cinta 

Bila cinta tak kunjung tiba, mungkin hanya masalah waktu

Cinta memberi waktu, semuanya hanya buat kamu 

Namun mengapa waktu-waktu bercinta terasa sebentar saja?


Tak kenal maka tak cinta

Perlu waktu untuk mengenal

Butuh waktu untuk mencinta

Ironisnya, cinta tak pernah kenal waktu


Kar'na waktu cinta bisa datang

Kar'na waktu cinta bisa saja pergi

Kar'na itu cintailah waktumu,

dengan membiarkannya habis bersama orang yang kaucinta


"Yang paling berharga yang dapat diberikan seseorang pada orang yang dicintainya adalah waktu. Bukan karena waktu adalah uang, namun karena cinta membutuhkan waktu. Kita tidak akan pernah dapat mencintai dengan benar bila kita selalu terburu-buru. So, give your best time for people you love!"


GOD loves you, love Him with your time

Saturday, January 9, 2010

Bila Jauh dari Mercu Suar

Aku terseret terakhir kalinya

Tergoda garingnya suara pecahan ombak

Semakin ragaku tertarik ke tengah

Menyentuh laut hingga dasar, menjauhi terang mercu suar


Air yang awalnya suam, kini dingin mencekam

Sendiku linu, rusuk-rusukku beku

Kram sekujur tubuh, ah mati aku!


Heeeii!!! Tolong aku!!!

Bibirku berteriak seraya menenggak asinnya buih ombak

Di mana tim penyelamat? Sedang apa para penjaga pantai?

Toloong...tooloooong... teriakku tinggal bisikan

................................................................................

Dengan terpejam, aku tenggelam

Bersama karang, di pusar pantai terlarang