Tuesday, April 5, 2022

Berguru





Bila ada olimpiade fauna, hewan apa yang paling pintar? Jawabannya bisa beragam. Menurut versi fabel, pastilah Si Kancil, Kijang ukurAN keCIL yang sering mengelabui Pak Tani. Kalau di gelanggang samudra, Si Lumba-lumba pasti jadi juara lomba. Sedangkan di era receh, yg paling pandai adalah kanguru, namanya saja Kang Guru;p.

Guru dan berguru, itulah kisah kali ini. Tak bermaksud menggurui, apalagi menghakimi, karena aku bukanlah guru, apalagi hakim. Hanya sekadar refleksi diri, agar pegal-pegal jemari ini pergi.

Menikahi seorang Bu Guru tak serta-merta menjadikanku Pak Guru (ya iyalah;p). Saat istriku dipanggil "Miss", aku tetap disapa "Mas". Namun demikian, walau ku tak bergelar S.Pd, ternyata peran sebagai guru tetap ada, menyelinap dibalik sebuah panggilan mesra, “Papa”.

"Pa, kita baca buku celita yuk!" ajakan manis Neya di kala bateraiku sudah mau habis. Bila tak kuladeni, rautnya murung sekali. Tapi bila kuterima undangan ini, wajahnya berseri-seri. Dalam konteks ini, buku pelajarannya bersampul dua, berjudul kepedulian & kemasabodohan.

"Pa, bangun Pa, udah jam 12 siang!" teriakan Nolan seraya menggoncangkan tubuhku yang belum siuman tatkala jarum penjang & pendek sudah berciuman. Malas bangun pagi memberikan figur ‘ke-telad-anan’ sekaligus pelajaran bahwa membuang waktu itu tak apa-apa.

Menjadi guru atau 'guru' bagi anak-anak bukanlah tugas mudah, apalagi murah. Sebagai guru yang dipanggil untuk mengajarkan nilai-nilai (bukan cuma menilai), tentunya kita sendiri juga perlu berguru. Berguru pada Sang Mahaguru, belajar dari pasangan, belajar dari orang lain, belajar dalam komunitas, bahkan belajar dari anak-anak, termasuk anak-anak kita sendiri. Seringkali aku belajar dari Nolan perihal kedisplinan wkt bersaat teduh, belajar dari Neya yang suka bernyanyi tentang tak perlu khawatir, belajar dari hati anak-anak yang murni dan mudah memaafkan.

Serigala bertahan hidup dengan berburu, manusia belajar hidup dengan berguru. Dalam berburu, harus buru-buru agar buruan tidak keburu lari. Namun dalam berguru, perlu banyak sekali waktu, dan terkadang waktu itu sendirilah yang mengajarkan kita. Hasil akhir berburu adalah buruan, yg akan lenyap bila dimakan. Sedangkan hasil berguru adalah “ilmu”, yg takkan habis dimakan ngengat, namun akan selalu diingat.

Hendaklah kita selalu rendah hati dan memiliki hati seorang murid, yang mau terus belajar, agar menjadi ‘guru’ yg lebih baik. Thanks for reading, God bless you!

Sunday, August 23, 2020

Pas



Namanya kunci pas, tapi sayang ukurannya tidak pas. Lagi perlu size empat belas, adanya dua belas. Alhasil, upaya untuk memperbaiki rantai motor yang lepas, terpaksa harus kandas. Syukurlah ada Ko @handri_cingq & kru @gadingjayamotor yang datang menyelamatkan saya dari ketidakberdayaan ini.

.
Yo, kok bisa tiba-tiba rantai lepas dari geriginya (baca: gear)? Memang sebelumnya ngga ada tanda-tandanya? Wong virus Corona saja ada gejalanya. Biasanya ada bunyi-bunyi aneh, sebelum kawanan rantai nyeleneh keluar dari jalurnya. Itulah komentar dari teman-teman ketika saya ceritakan peristiwa rantai yang berusaha kabur.
.
Hmm, mungkin ada suara-suara kendor, tapi sayanya teledor. Tidak mau ambil pusing, yang penting roda masih bisa gelinding. Ketika berasa 'sèrèt' dan motor harus terpaksa disérét, barulah saya sadar, posisi rantai tak lagi di 'jalan yang benar'. Akibat rantai yang tersangkut di sela-sela gerigi, roda belakang jadi tak bisa berkutik, apalagi maju mundur cantik.
.
Sembari menanti bala bantuan datang, saya meratapi si Revo AT yang terbujur kaku di tepi jalan penuh debu. Tiba-tiba terbersit sebuah perumpamaan tentang relasi kita dengan Tuhan. Kata Tuhan, "Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa."
.
Ranting anggur yang lepas dari pokoknya, sama halnya dengan rantai yang lepas dari geriginya. Kelepasan tersebut bukanlah suatu kebebasan yang memerdekakan, namun justru kelepasan yang membuat si motor tidak dapat berbuat apa-apa.
.
Demikian pula dengan perjalanan iman kita yang seringkali naik turun, jatuh bangun, dan tarik ulur. Kita cenderung suka mengendurkan diri dan menjauhkan diri dari Tuhan, karena kita merasa ingin hidup lebih bebas. Dan celakanya, seringkali kita tidak tahu atau bahkan tidak peduli kalau saat ini rantai penghubung kita dengan Tuhan sedang kendor.
.
Mari kita coba cek kondisi 'rantai' kita masing-masing. Apakah masih berputar sempurna sesuai poros, atau sudah mulai berasa ada yang molos? Prinsipnya satu, jangan kasih kendor.
.
Kiranya kita selalu ingat "...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Dan sebaliknya, di dalam Dia, kita akan bisa berjalan jauh, di jalan berbatu, berlubang, berlumpur, bahkan berjalan di atas air.
.
Selamat Hari Minggu! Tuhan Yesus memberkati.

Jatuh dari Langit


Aaaaaauuw! Pagi itu pecah oleh teriakan feminin yang keluar dari leher berjakunku, saat ada sesuatu meloncat ke arah celana. Benda kecil itu hidup! Ia menyeruak dari dalam tas kerja yang kupanggul dari rumah. Mungkin semalam ia menginap di dalam, lalu tanpa sadar kuajak dia ke kantor. Hmm, sebenarnya siapa dia?

Ia biasa menempel pada dinding, lalu perlahan merayap. Hadirnya suka bikin merinding, namun syukurlah ia tak bersayap. Pasti kita semua kenal makhluk halus yang satu ini, cicak! Cosymbotus platyurus atau cicak tembok adalah saudaranya tokek. Mereka sama-sama bangsa reptil dari suku Gekkonidae. Sekian biografi singkatnya.

Belakangan ini mataku acapkali menyaksikan ia melawan kodratnya sebagai cicak tembok. Ia lebih banyak berkeliaran di lantai, seolah ingin menyangkal lirik lagu A.T. Mahmud, “Cicak-cicak di Dinding”. Ketika berlarian di ubin, sekilas ia jadi mirip kecoak - Si Hitam Mungil yang mampu membuat histeris seisi rumah (terlebih Sang Nyonya Rumah). Pertanyaannya, mengapa cicak yang terbiasa hidup di langit-langit, kini malah membumi? Apakah ia sedang turun takhta dan menjelma jadi rakyat jelata? Semuanya masih tanda tanya.

Setelah bertapa, mencari fakta dan mengira-ngira, kutemukan jawabnya. Ia melantai, bukan untuk bersantai. Ia justru sedang mengintai, mencari mangsa untuk dibantai. Ia terpaksa mencari nafkah di bawah, karena populasi nyamuk di atas sudah berkurang akibat maraknya fogging yang dilakukan. Jadi, mau tak mau, suka tidak suka, ia harus berjuang lebih keras demi mencari sebutir nasi. Tak heran aku sering memergokinya di sekitar rice cooker, sedang mengendap-endap hendak mengambil sisa-sisa nasi kering. Adakalanya ia ngumpet di kolong meja makan, menanti remah-remah yang berantakan. Tak percuma ia menyandang marga reptillia, karena ia mampu bertahan dan beradaptasi di dua kondisi, di atas dan di bawah.

Bagaimana dengan kita di tengah pandemi ini? Wabah ini telah mengubah hidup kita. Dari work from office menjadi work from home; sekolah di kelas menjadi G*gle Class; ibadah di rumah ibadah menjadi di rumah sendiri; dan banyak hal lainnya. Lebih dari sekadar perubahan, virus ini juga membuat banyak kehilangan. Mulai dari kehilangan orang-orang tersayang, lenyapnya penghasilan, raibnya pekerjaan, tertutupnya peluang, dan sebagainya. Apakah kita masih kuat berdiri atau sudah mulai kehabisan energi?

Kalau cicak saja sanggup beradaptasi, kita (manusia) pasti juga mampu lewati semua ini. Seperti cicak, kondisi ini juga memaksa kita turun ke bawah dan berusaha ekstra agar tetap eksis. Buat kamu yang sudah mulai lelah –saya pribadi mengalaminya– curhatlah pada Sang Pencipta, mohon pertolongan dan kekuatan dari-Nya, serta teruslah berjuang. Jangan menyerah, ingat ada Allah! Buat kamu yang masih kuat berdiri, jangan jemawa. Tetaplah mengucap syukur, bahwa semua karena anugerah-Nya. Ulurkan tanganmu pada yang butuh bantuan. Dan terakhir, untuk kita semua, marilah kita saling jaga. Bukan hanya menjaga jarak dan kesehatan, namun juga menjaga dan saling menguatkan hati agar tetap memiliki harapan. Niscaya badai ‘kan reda. Kiranya Tuhan menyertai kita dan menjadikan kita generasi yang lebih tangguh dari sebelumnya. Amin. Tuhan Yesus memberkati!

Saturday, May 30, 2020

The Pool, the Rules and the Lifeguard





Sayangnya, cuma judulnya doang yang in English, sok-sok mirip novel Narnia-nya C.S. Lewis; padahal isi ceritanya mah tetap ala J.S. Badudu. Berbeda dengan istriku @nidyamario yang fasih British, bahasa inggrisku kritis. Itulah perbedaan antara lulusan FKIP dan didikan Sesame Street. Let’s jump to the story!

Masa PSBB yang berestafet dengan libur Lebaran, mengubah hidupku dari pria kantoran jadi lelaki rumahan. Yang biasanya pulang malam, kini bisa buktikan betapa nikmatnya tidur siang. Merasa bosan? Antara agak dan enggak. Sebab bagiku yang suka lesehan (leha-leha sembari rebahan), yang namanya liburan selalu terasa kurang, meskipun harus #dirumahaja.

Di suatu pagi, tiba waktunya anak-anak mandi. Kami tetap berupaya mandi dua kali sehari, meskipun sebagian dari kita berkata “cukup sekali saja” dengan alasan ‘new normal’ (yang cuma mandi sekali ayo ngacung;p). “Anak-anak, hari ini jadwal cuci mainan ya, jadi kalian bisa main air dulu sebelum mandi,” seru istriku lantang. Pernyataan itu disambut positif oleh Nol dan Ney. Tanpa disuruh, merekapun langsung melangkah ke TKP.

Akupun mengintip dari sela-sela pintu, menyaksikan serunya mereka berendam di ‘bathub’ yang sejatinya adalah ember mandi Nolan tatkala ia bayi. Karena sempit, harus bergantian agar tak terhimpit. Seketika timbul rasa kasihan sekaligus suatu gagasan. Mengapa tak beli kolam renang angin yang bisa ditaruh di halaman? Tanpa menunda, segera kujelajahi t*k*pedia, mencari apakah barangnya tersedia. Syukurlah, dengan budget yang pas-pasan, kutemukan kolam yang muat dua insan. Jangan lupa beli pompanya juga ya!

Singkat cerita, inilah hari yang sangat dinanti, because is swimming day, yeay! Pagi-pagi kupompa kolamnya, kuisi airnya, dan tidak lupa kububuhi sepertiga tutup botol cairan bernama D*ttol. Seperti yang kuduga, anak-anak bangun lebih pagi, sarapan dengan cepat dan lebih kooperatif. Tanpa perlu tarik urat, dalam sekejap mereka sudah siap. Anak-anak tak ubahnya dengan kita, cenderung lebih patuh bila ada udang di balik batuh.

Byuur!! Senang sekali melihat anak-anak tertawa cekikikan. Bermain air memang selalu menyenangkan, meski hanya di lingkaran seluas kolam ikan. Luapan gembira di wajah lugu mereka, meluber ke hati kami orang tua. Saking senangnya, kadang ekspresi mereka kebablasan. Nol berteriak keras-keras hingga mengganggu tetangga sekitar, Ney berdiri di dalam kolam yang berisiko membuat kaki kecilnya terpeleset. Berulang-ulang diperingati, namun sepertinya tak masuk ke hati. Untuk itu, kami lekatkan di dinding beberapa aturan dasar agar anak-anak dapat tertib saat berenang. Last but not least, salah seorang dari kami harus menjadi lifeguard di tepi kolam (kayak di serial Baywatch), guna memastikan semua aman terkendali dan tak ada yang tenggelam di kedalaman 30 centi.

Bila mandi jadi hal yang dihindari, kolam justru menggoda hati ‘tuk ceburkan diri. Alhasil, waktu berenang jadi seperti nama restoran padang legendaris, pagi sore. Satu hal yang disayangkan, andai saja kolamnya lebih besar, maka mama papanya juga bisa berendam.

Kala mentari sirna berganti purnama jingga, sebuah analogi datang, menghampiri pikiran di ujung petang. The pool, the rules and the lifeguard ibarat tiga hal, yaitu dunia tempat kita hidup, peraturan yang ada dan Tuhan Yang Mahakuasa.

Seperti anak-anak, dunia ini sangat menyenangkan bagi sebagian besar kita. Kita tak ingin pergi dari dunia, melangkah keluar pun ogah. Namun suka tidak suka, ‘pabila ‘malam’ tiba, kita harus keluar dari ‘kolam’, tidak bisa tidak. Jadi, pastikan selama berada di ‘kolam’ kita menikmatinya, membuat air bergelombang riang, dan membuat kehangatan bagi perenang lainnya. Sebuah anugerah kalau kita bisa terbahak-bahak seperti Nolan dan Neya.

Agar memiliki kehidupan yang baik, kita tidak boleh hidup sembarangan, harus taat aturan. Papan aturan bisa berjuta rupa. Mulai dari yang sederhana seperti “jangan buang sampah sembarangan”, nasihat orang tua, aturan keluarga, tata tertib perusahaan, undang-undang pemerintah, hingga petunjuk hidup yang hakiki di tiap paragraf kitab suci. Bila aturan dilanggar, maka ada konsekuensi yang tak bisa dihindar. Di dunia yang ‘rusak’, taat aturan kerapkali membuat hidup jadi lebih pelik, tapi yang terpenting kita sudah melakukan bagian kita.

Lifeguard, pada konteks sebenarnya berarti penyelamat yang piawai berenang, biasanya bertugas di pantai atau kolam renang besar, yang selalu stand by ketika ada yang butuh pertolongan. Namun dalam teks ini, lifeguard = penjaga hidup. Yup, Tuhan adalah penjaga hidup kita, bahkan penyelamat jiwa kita. Dia selalu mengawasi kita di tepi kolam, setia menunggu lambaian tangan kita. Di pinggir kolam, sesekali ia melempar senyum dan juga menegur kita kala melanggar aturan. Saat kita tergelincir, terminum air atau nyaris tenggelam, tangannya akan memegang kita erat-erat. Ia mampu menenangkan air yang berombak dan juga menjernihkan air yang keruh. Dan bila waktu bermain telah habis, Ia akan menuntun kita pulang ke rumah-Nya, asalkan kita percaya pada-Nya.


Saat ini ‘kolam’ kita bersama sedang tercemar virus corona. Pandemi memaksa penghuni kolam pergi satu demi satu, dan tidak kembali lagi. Banyak aturan yang dibuat agar virus tak menyebar, namun ia masih terus beredar. Apa yang bisa kita lakukan? Salah satunya adalah taati aturan yang ada, terus berdoa dan percaya pada Sang Lifeguard yang berkuasa mengendalikan semua dan memulihkan pada waktunya. Amin. Tuhan Yesus memberkati.