Friday, December 31, 2010

When Heart Beats Fast and Palm Goes Wet

Sekitar dua bulan silam, mudah sekali ku merasa lelah. Napas di dada setengah-setengah, sehingga sering terengah-engah. Alhasil, aku jadi parno sendiri. Hati kecilku berbisik penasaran, adakah aku mengidap penyakit jantung? Duh… dag-dig-dug deh jadinya; terlebih bila mengingat telapak tanganku yang doyan berkeringat. Orang bilang, itu salah satu gejala jantungan, OMG!!

Saat masa remaja, aku pernah berkonsultasi dengan seorang dokter internis guna mengklarifikasi hal ini. “Dok, kenapa telapak saya suka keringetan ya?” Dengan enteng tabib modern itu menjawab, “Oh, itu berarti kamu labil.” “Ooo, gitu ya, Dok”, sahutku lugu. Untung saja istilah “ababil” (ABG labil) belum happening di zaman itu.

Usiaku bertambah, telapak tangan tetap saja basah. Hal ini mengakibatkan beberapa sohibku enggan berjabat tangan denganku. “Abis tanganlu becek, Mar.” itu alasan standar penolakan mentah mereka. Namun, kendati telapak ini acap berlumur keringat, syukurlah jantung hatiku tak keberatan kugandeng setiap waktu. “That’s my girl:)” Hal lain yang menghiburku adalah genangan ‘air asin’ ini menjadikan telapak tanganku senantiasa lembut karena terjaga kelembabannya.

Acuh tak acuh, demikianlah aku menyikapi gejolak di dada kiri bagian dalam ini. Sometimes aku cuek, namun adakalanya aku over protected terhadap organ inti yang vital ini; seperti dikisahkan dalam penggalan cerita berikut:

Suatu malam aku dan beberapa rekan sejawat bermain-main ke sebuah mal yang memiliki area permainan dalam ruang. Dengan semangat yang meledak-ledak, seorang temanku yang berdialek Sunda mengajak kami memasuki wahana rumah hantu. Aaa…apa?? Langsung terbersit di benakku sosok-sosok seram yang membuat jantung terhujam. Dag-dig-dug deh jadinya! “Ayo…ayo…Mar!” teman-teman lainnya antusias mengajakku masuk ke dalam wahana gulita itu. Hmm…ikutan ngga ya?? Semakin mendekati wahana, aura angkernya kian merona. Di gerbangnya tertulis peringatan: “Dilarang masuk bagi yang menderita penyakit jantung atau sejenisnya.” Oh…tidak! Bagaimana ini? Kalau aku menolak masuk, pasti dicap penakut. Berbekal nekat, kuberanikan diri memasuki lorong gelapnya, hiiii…so so creepy! Baru dua tiga meter langkah ini menapak, dag-dig-dug-dag-dig-dug…oops, kok perasaanku ngga enak ya? Dag-dig-dug-dag-dig-dug, iramanya kian kentara, keringat di tangan mulai mendera. Aaahh…akhirnya kuputuskan untuk keluar dari mulut bangunan horor tersebut. Pikirku, lebih baik dicap pengecut, ketimbang mati terkejut. Sorry Guys, wahana yang ini aku absen dulu ya.

Semenjak peristiwa itu, tak henti-henti hati bertanya. Benarkah jantungku bermasalah? Ditambah lagi tersiar kabar ada beberapa kerabat yang dikagetkan oleh serangan fajar penyakit ini. Memang sih usia mereka jauh lebih uzur, namun bukankah bencana tak pandang umur? Apakah benar aku juga seperti mereka? Hanya satu cara untuk menjawab misteri di relung hati ini. Konsultasi dengan ahlinya!

Konsultasi ke dokter jantung. Kendati terdengar gampang, namun faktanya tidaklah mudah, apalagi murah. Belum apa-apa, hati cerewet ini sudah bertanya lagi, “Bagaimana kalau aku divonis mengidap jantung koroner akut dan harus segera dioperasi, dipasang ring atau di-bypass? Bagaimana bila ternyata sesak di dada yang telah aku rasakan adalah agresi pertama dari penyakit ini? Siapkah aku menerima kenyataan?” Belum lagi masalah biaya, dijamin akan meredenominasi paling tidak enam digit angka rupiah. Di tengah kekhawatiran, aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, klo boleh, nanti diagnosisnya jangan parah-parah ya, yang masih acceptable-lah, jadi bisa berobat pelan-pelan. Hmm…klo emang ternyata saat ini udah tergolong gawat, tolong Tuhan sembuhin dikit dulu, jadi pas diperiksa dokter udah ringan deh, OK? Thank You Lord, Amen!”

Singkat cerita, ku datangi sebuah RS dan mencalonkan diri untuk menjadi pasien di sana. Seorang Cardiologist – Interventionist (baca: ahli jantung) yang bergelar App, Sc, SpJP, FIHA kuberi kehormatan untuk meraba-raba bagian dadaku guna mendeteksi ada apa di dalamnya. Didampingi kekasih yang setia, kunantikan hadirnya sang dokter bejubel gelar itu.

Bapak Mario!” dengan santun seorang suster menyebut namaku. “Silakan masuk, Pak!” Bergegas kutuju meja sang dokter dan mengadakan perbincangan serius. “Begini Dok, belakangan napas saya kok pendek dan agak sesak ya? Terus sudah sejak kecil telapak tangan selalu keringetan. Banyak orang bilang itu gejala jantung. Nah, makanya saya ke sini, mau mengkroscek apakah benar ‘dakwaan’ mereka selama ini?”

Silakan berbaring di sana, Pak’, kita cek tensi dan detak dulu ya”, seru sang kardiologis santai. Tanpa dikomandoi, sang suster mengeluarkan stetoskop dan perangkat tensinya yang langsung didaratkan di dada datarku, “Tarik napas, Pak... buang napas... sekali lagi... napas yang panjang... buang… OK!” ujar sang perawat. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menemukan tidak ada yang salah. Kalau begitu, apakah berarti jantungku bebas masalah? Wait, is not as simple as that, Guys! Guna menerawang lebih jauh, sang dokter mengajakku untuk ikut tes berikutnya: Treadmill Test! OK, sounds cool:)!

Pada uji ini, aku harus berlari di atas treadmill yang diatur dalam empat tingkatan kecepatan. Tujuannya adalah memacu kinerja jantungku dan melihat bagaimana fluktuasi dag-dig-dug-nya. Aku ditargetkan untuk bisa mencapai minimum 85% waktu dari total menit yang ditetapkan di tiap level kecepatan. Ya, anggap saja sedang berlatih di pusat kebugaran. Yang membedakan adalah aku dipaksa mengenakan kimono tipis ala ruang operasi. Selain itu, di sekujur dada serta area six pack-ku ditempeli ‘lintah-lintah’ bundar berkabel yang terkoneksi ke komputer. Sayangnya aku tak sempat mengabadikan momen langka itu.

Bisa kita mulai, Pak?” tanya sang suster. “Bila di tengah ‘pelarian’ ini Bapak merasa sesak atau ada keluhan di bagian dada, harap segera beritahu saya,“ sambungnya ramah. “Baik, Sus. Let’s go!” sahutku penuh percaya diri. Level pertama: ibarat jalan-jalan sore sambil menanti terbenamnya mentari. Tak ada upaya yang berarti di level ini. Lanjuuut! Level dua: kecepatan di level ini membawa derap langkahku ke suasana jogging di Sabtu pagi. Meski lajunya masih relatif pelan, ia berhasil membuat bulir peluh bermunculan. Tanpa perlu strategi bulus, level dua lulus dengan mulus. Now, we’re going to level three. Conveyor di bawah kakiku berputar kian cepat, sehingga mau tak mau aku pun menambah gesitnya ayunan kakiku. Berlari konstan dengan kecepatan seperti ini membuatku harus berhati-hati dalam mengatur ritme pernapasan; huuh…haah…huuh…haah… Peluh yang awalnya hanya di pelipis, mulai merembes ke kimono tipis. Huuh…haah…huuh…haah…finally level tiga finish juga!

Masih kuat lanjut ke level terakhir, Pak Mario?” sang suster kembali mengajukan pertanyaan sambil melongok tampangku yang tampak kuyu. Seorang pria harus menyelesaikan apa yang telah dimulainya, “Lanjuut, Sus!”. Pandanganku mulai agak remang dan keringat makin bercucuran, terutama di telapak tangan yang sedang menggenggam erat pegangan treadmill, wuiih banjir euy! Napas tinggal sisaan, ngos-ngosan. Hmm…ini gara-gara lemah jantung atau memang staminaku yang ngga prima ya? Entahlah. Sekarang yang penting adalah berlari sekuat tenaga, banzai! Ya…sedikit lagi…83%...84%...85%! Akhirnya aku berhasil mencapai batas minimum waktu yang ditargetkan, well done! Proses pengetesan telah selesai, kini tinggal menunggu bagaimana hasilnya. Suster mempersilakanku berganti pakaian, sementara ia mencetak hasil rekaman jantungku yang akan dilaporkan ke Pak Dokter.

Seusai berganti kostum, aku diminta menanti di ruang tunggu. Iseng kuintip ruang sang dokter, rupanya beliau sedang sibuk mengamati lembaran kertas bergambar grafik naik-turun yang tidak lain adalah rekaman detak jantungku. “Silakan masuk, Pak Mario”, seru seorang suster dari balik pintu. Dag-dig-dug… inilah saat yang dinanti-nanti. Jawaban yang kucari sejak usia dini akan terkuak malam ini. Aku langsung meluncur ke meja sang dokter, duduk berhadapan dan saling bertatapan. Kusiapkan hatiku untuk menerima yang terburuk, lalu bertanya, “Bagaimana hasilnya, Dok?”. Di luar dugaan, sang dokter merespon dengan cepat, “Dari hasil treadmill bagus, ngga ada masalah apa-apa, jadi saya ngga kasih obat apa-apa ya, karena memang ngga ada apa-apa.” “Oooo…aku pun termangu.” Sulit rasanya memercayai jawaban dokter yang jauh di luar ekspektasiku. Masih belum puas, kubombardir sang dokter dengan pertanyaan beruntun, “Hmm… jadi klo tangan keringetan itu kenapa, Dok? Terus kalo deg-degan plus tangan berkeringat waktu naik ke tempat yang tinggi itu kenapa tuh, Dok?” Jawab sang dokter, “Klo tangan keringetan, itu biasanya karena kelenjar keringat yang berlebih (hyperhydrosis), ngga bahaya kok, cuma ganggu aja. Terus klo masalah deg-degan dan tangan basah pas naik-naik, itu karena perasaan cemas aja, sehingga memicu keringat.” “Ooo…gitu ya, ok deh, makasih banyak ya, Dok!” seruku sambil meninggalkan ruangan dengan penuh keraguan.

Ketika berada di luar, tiba-tiba aku terhenyak. Ku teringat akan doaku sebelum berangkat ke rumah sakit. Aku telah berdoa minta jamahan Tuhan; dan faktanya He has answered my prayer, jantungku divonis sehat wal’afiat! Tapi, mengapa aku justru tidak percaya saat dokter bilang jantungku baik-baik saja? Mengapa seolah aku ‘ngotot’ ingin ada sesuatu pada jantungku? Aku sudah berdoa pada Tuhan, tapi ragu tatkala doaku dijawab-Nya. “Please forgive me, GOD, karena telah meragukan pertolongan-Mu. Terima kasih banyak karena telah menyembuhkan aku, Amin!”

Apa hikmah dari cerpen panjang ini? Berdoa itu mudah, yang sukar adalah menanti jawabannya. Bahkan ketika Tuhan menjawab doa dan keinginan hati kita, adakalanya kita ragu apakah itu dari Tuhan. Seringkali kita lebih yakin kepada apa kata orang atau ‘feeling’ diri sendiri ketimbang pada apa yang nyata-nyata Tuhan telah buat pada kehidupan kita. Adakalanya kita tidak yakin apakah Tuhan mampu menjawab doa-doa kita. Kalau sudah begitu, apa gunanya berdoa? Sebaliknya, saat kita berdoa, hendaklah kita percaya bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Camkanlah bahwa Tuhan sanggup melakukan segalanya; jadi tidak mungkin ada yang mustahil bagi Dia. Betul betul betul?