Thursday, June 30, 2016

Twin Voorijder



Suatu hari datang berita duka, ibunda dari mantan bos kami meninggal dunia. Untuk menyampaikan rasa bela sungkawa, saya dan beberapa rekan pergi melayat ke salah satu rumah duka di Jakarta. Mumpung mentari masih bersahabat dan teriknya belum hebat, kamipun meluncur via tol dalam kota. Syukurlah pagi itu tol berfungsi sesuai definisinya, sehingga perjalanan kami bebas hambatan.

“Kita exit di pintu tol mana ya?” tanya teman yang menjadi sopir. “Di gerbang tol anu, eh atau satu lagi ya?” jawab teman yang lain ragu. Jangan tanya saya, saya buta tanpa peta (baca: Waze). Akhirnya setelah beberapa kilometer, kamipun sepakat keluar dari jalan tol. “Daripada kebablasan, mendingan kita keluar tol di sini saja ya.” ujar Pak Sopir.

Beberapa menit berselang, barulah kami sadar bahwa seharusnya kami tidak keluar di pintu tol yang tadi. Jarak ke rumah duka masih lumayan jauh, jalurnya pun cukup padat. Dan karena ini Jakarta, kemacetan bukanlah barang langka. Alhasil, kami harus bersabar menyusuri aspal yang kian ‘tertindas’ oleh banyak kendaraan yang melindasi punggungnya.

Kala sedang asyik bercengkerama di dalam armada, tampaklah di sisi kanan kami sebuah mobil Hy*ndai At*z tua, dikemudikan oleh seorang ibu tua, berusia kira-kira 63 tahun. Sembari memegang setir, tangan kirinya menekan-nekan bibir seorang lelaki tua yang duduk di sampingnya. Awalnya kami kira mereka sedang bercanda, namun ternyata ibu itu sedang memberi pertolongan pertama pada suaminya yang lagi kejang-kejang!

Sontak semua mata di jalan raya tertuju pada kaca bening mobil tersebut, termasuk mata kami. Jelas oma dan opa ini butuh pertolongan! Namun semua orang kebingungan bagaimana cara menolong mereka! Si Oma terus berjuang menekan bibir suaminya yang kian kritis, sambil memutar setir, menyalip sana-sini, menekan-nekan klakson, berharap semua penghuni jalan minggir, agar dia bisa segera jalan. Tapi bagaimana mungkin, macet ini belum berlalu.

Aura panik Sang Oma merasuk menembus masuk ke dalam mobil kami. “Kita kudu tolongin nih, kasihan banget dia, tapi gimana ya?” seru salah seorang dari kami. “Kita setirin aja, biar dia urusin suaminya” sambung teman yang lain. Didorong rasa kasihan dan deg-degan, saya dan seorang teman keluar dari mobil, lalu mengetuk kaca mobil tua itu. “Oma…oma, kita bantu setirin ya, Oma urus Opa saja.” Tapi jawab Oma, “Ngga usah, bantu Oma bukain jalan aja sampe ke rumah sakit.”

Kami berdua bingung. Akhirnya, teman sayapun kembali ke mobil untuk memberitahu rekan-rekan lainnya. Saya masih kebingungan di tengah jalan; namun entah dorongan darimana, perlahan-lahan saya mulai berupaya memberitahukan mobil-mobil di depan agar membuka jalan bagi ibu tua ini. Saya ketuk kaca-kaca kendaraan, seraya berkata, “Pak, tolong kasih jalan, di belakang ada yang sekarat!”. Setelah mobil menyingkir dan Si Oma bisa lewat, saya berlari lagi ke kendaraan di depannya, “Permisi Pak, tolong kasih jalan, ada yang sakit jantung!”.Ketuk - permisi -tolong kasih jalan - lalu lari ke depan; begitu prosedurnya.

Di balik setir, wajah Si Oma tampak sangat getir. Saya bisa merasakan betapa khawatirnya ia memandangi suaminya yang terus kejang-kejang, sementara kemacetan masih panjang. Astaga! Kejangnya makin menjadi-jadi, ia mulai terbatuk-batuk, mulutnya berbusa dan muntah-muntah! Sanggupkah dia bertahan?

Ketika saya mulai terengah-engah, syukurlah bala bantuan tiba. Ada ambulans? Bukan. Namun teman yang tadi bersama saya turun dari mobil, kini turut menyisir jalan agar mobil-mobil minggir. “Tolong kasih jalan Pak, ada yang sakit jantung.” Kalimat itu berulang-ulang kami lontarkan ke setiap pengemudi kendaran yang menutupi mobil Si Oma. Tanpa sadar, kami ibarat voorijder kembar yang mengawal pasangan lansia ini. Voorijder yang biasanya naik moge dan nyaring sirene, kini hanya ‘mengendarai’ sepatu pantofel diiringi teriakan penuh kecemasan.

Thanks God setelah kira-kira 1 km, sampailah kami di rumah sakit. Si Opa sudah tak berdaya, hingga harus digotong dan dibaringkan di ranjang dorong. Ternyata ia mengidap tumor, yang mendadak kambuh di tengah perjalanannya check up ke rumah sakit.

Setelah kejadian ini berlalu, saya baru menyadari bahwa ada sesuatu di balik rentetan peristiwa ini. Mengapa kami harus melayat pagi itu, mengapa kami harus salah keluar pintu tol, mengapa kami harus terjebak dalam kemacetan, dan mengapa mobil kami bersebelahan dengan mobil tua itu. Ternyata ada misi ilahi yang harus dijalankan, yaitu membantu seorang ibu mengantar suaminya ke rumah sakit.

Tak ada yang tahu, berapa menit lebih cepat Si Oma sampai ke rumah sakit dengan pengawalan dua voorijder gadungan itu; mungkin 15 menit, 10 menit atau malah hanya 5 menit, dan mungkin saja menit-menit itu tidak berdampak apapun bagi keselamatan jiwa Si Opa. Tapi yang penting, kami bersyukur telah menjalankan tugas kemanusiaan yang Tuhan bisikkan dalam hati, sehingga kemacetan ini jadi berarti. Adakalanya Tuhan menutup jalan kita, agar kita berhenti dan dapat dipakai-Nya menjadi pembuka jalan bagi orang lain. Karena hidup ini tidak melulu tentang kita, tapi juga tentang sesama. Tuhan Yesus memberkati.

Wednesday, May 18, 2016

Like Son LIke Father



Sudah hampir ganti bulan lagi, namun ia tak kunjung pergi. Meski diusir berkali-kali, ia terus kembali. Ia bernama batuk, yang ”menginap” di tenggorokan Nolan – putra kami - selama tiga minggu terakhir ini. Obat batuk sudah habis sebotol, namun batuknya masih juga nyantol. Sirup obat batuk herbal berhasil membuat batuknya reda, tetapi tetap masih ada. Tumben, biasanya kedua obat itu mujarab, mengapa kali ini mereka kehilangan khasiat?

Setelah kami amati, yang membuat si batuk sulit move on adalah Nolan kurang disiplin. Ia masih sesekali mengonsumsi kudapan yang diharamkan tatkala batuk. Nolan sukses menolak tawaran french fries dari tantenya, namun ia tak kuasa untuk tidak mencicipi es krim milik opanya, dan tergoda menerima hibah biskuit coklat dari teman sekolah minggunya. Akhirnya, karena batuknya tak pulih-pulih, kami membawa Nolan ke dokter, lalu diberi racikan antibiotik yang membuat Sang Batuk tak berkutik.

Yang satu mulai sembuh, yang lain kambuh. Saat batuk Nolan jarang terdengar, giliran tenggorokan saya yang berkoar, batuk disertai dahak. Dua tiga hari pertama, saya sangka ini batuk biasa yang akan hilang dengan sendirinya; namun saya salah. Hari keempat, saya pun menenggak obat sirup eks Nolan. Sayangnya, baru minum sekali saja, isi botolnya sudah tiada.

Batuk pun timbul tenggelam, kadang muncul kadang hilang. Penasaran, akhirnya saya membeli sebotol obat herbal merek lain, hope it works! Namun, batuk belum juga menyingkir.

Saya teringat perjuangan Nolan, bagaimana ia jatuh bangun untuk berkata ”Say No!” pada pantangan-pantangan yang ditawarkan kepadanya. Ternyata, saya tidak setangguh dirinya. Saya, yang menyuruh Nolan puasa terhadap coklat dan es krim, ternyata bukanlah guru yang baik. Saat ada teman kantor yang menawarkanku coklat, saya menerimanya dengan senang hati. Segala bentuk gorengan saya lahap. Dan ketika terik matahari melanda, orange float with vanilla ice cream saya jadikan pelepas dahaga. Pantesan batuk ini betah! In this case, pepatah ”like father like son” berubah jadi ”like son like father”.

Jelaslah, orangtua harus menjadi panutan bagi anak, bukan sebaliknya. Kita yang lebih berumur, lebih dahulu menginjak dunia, lebih berpengalaman, lebih tahu baik dan buruk; haruslah memberikan contoh hidup yang benar bagi mereka.

Kalau kita melarang mereka main tablet sembari sarapan, kita juga nggak boleh chattingan waktu lunch di kantor. Kalau kita menyuruh mereka tidur pukul sembilan supaya besok tidak kesiangan, kita juga jangan begadang demi menyelesaikan serial film Korea. Kids are watching us! Yes, they’re watching us, always!! Dan ingat, walaupun kita melakukan semua itu tanpa dilihat anak-anak kita, our Lord, our Dad in heaven are watching us, always!

Yuk parents, mari menjadi orangtua yang seharusnya bagi anak-anak kita! Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh dewasa kalau orangtuanya kekanak-kanakan?

Jerapah yang Pincang

Nolan, putra balita kami, senang sekali bermain figur miniatur binatang. Hewan ‘bohong-bohongan’ itu acapkali disusunnya rapi, seolah sedang berada di hutan atau kebun binatang. Walaupun baru ‘memelihara’ beberapa ekor dan spesies saja, Nolan sangat suka bermain dengan mereka. Sampai pada suatu malam, kami membelikannya setengah lusin binatang mini baru, meramaikan koleksi satwanya. Sebelum tidur, saya mengajak Nolan ‘membebaskan’ para hewan tersebut dari bungkus plastiknya. Sembari mengeluarkan mereka satu per satu, tampak wajahnya sangat sumringah. Ya, itulah anak-anak, kalau senang langsung senyum, kalau sedih langsung manyun; tak pernah bermuka dua. Nolan pun mulai mengatur formasi mereka di atas kasur. Ada gajah bertelinga lebar, singa si raja rimba, harimau Sumatera, macan tutul betina, kuda berkulit hitam putih, dan terakhir ‘rusa kurus berleher panjang’ alias jerapah. Satu demi satu, hewan-hewan liar itu didirikannya. Mulai dari gajah, zebra hingga trio macan berhasil berdiri tegak di atas sprei yang bergelombang. Di dunia fauna, mereka memang dikenal sebagai binatang berkaki empat yang kuat dan perkasa. Jadi tidaklah heran, mereka dapat berdiri dengan mudah. Sekarang giliran si jerapah. Dengan jari telunjuk dan jempol mungilnya, Nolanpun mendaratkan kaki hewan jangkung itu di atas kasur. “Eh…kok jerapahnya jatuh, Pa? Kok jerapahnya ngga bisa berdiri?” seru Nolan panik. Dicobanya lagi dan lagi, namun lagi-lagi jerapah itu terhempas ke kasur. Raut ceria Nolan mulai terenggut, berganti dengan cemberut. Ia kesal dan sedih sekali melihat si jerapah. Nolanpun mulai marah dan menangis, “Kenapa jerapahnya ngga bisa berdiri, Pa?”. Setelah kuselidiki, ternyata kaki si jerapah pincang. Tiga kaki menapak tanah, namun kaki kiri belakangnya mengambang, pantas saja tidak seimbang. Ia timpang, sehingga hanya mampu berdiri bila ditopang. Kucoba jelaskan kepada Nolan mengenai hal ini, “Nol, dia kakinya miring, jadi harus dipegangin supaya bisa berdiri.” Tangisan kesalnya justru mengeras, “KENAAAPA kakinya miring, Pa? HARUS-nya dia bisa berdiri!!” Tak sempat pikir panjang, spontan ‘ku menjawab, “Kakinya miring karena orang yang buatnya kurang pinter, Nol.” Ooops, sepertinya jawabanku salah! Amarahnya makin menggelora, dan ia terus bertanya, “KENAPA orang yang buatnya gitu, Pa? ‘Kan HARRUSS-nya bisa berdiri!!” Nolan kecewa berat dan tak dapat menerima kepincangan jerapah barunya. Karena tak punya jawaban tepat, akupun mencoba menghiburnya, “Udah Nol, jerapahnya simpen aja ya, main binatang yang lain aja ya,” sambil menunjuk ke singa dan hewan lain yang bisa berdiri. Namun ia tetap bersikeras, “KENAPA Pa?? HARRRUUSSS-nya jerapahnya bisa berdiri!!” Nolan tetap tak bisa menerima, ia terus menangis dan akhirnya meningggalkan semua binatang mainan itu. Karena seekor jerapah yang gagal berdiri, ia melupakan kesuksesannya menegakkan lima binatang lainnya. Ya, itulah anak-anak. Dari kisah sedih di atas, saya tersadar bahwa kitapun orang dewasa seringkali seperti anak-anak. Kita sulit sekali menerima hal-hal yang TIDAK SESUAI dengan kehendak / pemikiran kita. Ketika kita mendapat pekerjaan di tempat yang tidak pas dengan keahlian dan passion kita; timbullah pertanyaan, “MENGAPA? HARUS-nya ‘kan saya kerja di sana, bukan di sini!” Saat kita menemukan ada sifat suami / istri kita yang tidak kita suka, kita mengomel, “MENGAPA kamu begitu? HARUS-nya ‘kan kamu begini!” Waktu kita dianugerahkan seorang anak yang ternyata tidak sesuai harapan kita, kita mengeluh, “KOK kamu mengecewakan mama papa? HARUS-nya ‘kan kamu membahagiakan mama papa dong!” Mengapa kita sulit menerima keberadaan kita? Bukankah semua yang kita miliki adalah pemberian TUHAN? Mengapa kita beranggapan bahwa yang seharusnya adalah yang sesuai dengan pemikiran kita? Bukankah rencana TUHAN jauh melampaui pemikiran kita? Jadi, kalau semuanya berasal dari Allah yang rancangan-Nya Maha Sempurna, masihkah kita marah dan kecewa karena ‘jerapah yang pincang’? “Percaya dan ikutilah jalan-Nya, pasti ada yang indah di ujung sana.”