Setahun silam, Nolan,putra kami yang kala itu belum genap
4 tahun, bertanya, “Mama papa nanti tua?” jawab kami “Iya Nol.” Tanyanya lagi
polos, “Mama papa nanti meninggal?” “Iya Nol.” jawab kami sama. “Terus nanti
aku siapa yang temenin dong?” Lalu jawab kami, “Nanti kalo Tuhan berkenan,
Nolan menikah, jadi mama papa juga, nanti istri dan keluarga Nolan yang temenin
Nolan.” Iapun terdiam, tak lagi melontarkan pertanyaan lanjutan, malah sudah
sibuk dengan hal lainnya. Itulah anak-anak, suka mendadak penasaran, namun sekejap
puas dengan jawaban sekilas.
Lain anak-anak, lain orang tua. Pertanyaan iseng Si Nolan
justru mengusik benak saya. Terngiang sepasang kata keramat yang menghantui
realita hidup manusia, tua dan mati (bila tidak mati muda). Sadar atau tidak, pertambahan
usia yang kita dapatkan gratis setiap tahun, sesungguhnya mendiskon umur kita
di dunia ini. Memang sih, umur di tangan Tuhan, tapi apakah kita siap jika
sudah ‘waktunya pulang’? Apakah anak-anak kita siap untuk kita tinggalkan?
Di tengah sulitnya menjawab pertanyaan itu, malah timbul pertanyaan
susulan,“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan
anak-anak kita ketika waktunya Tuhan tiba?” Mungkin, sebagian kita spontan berkata,
“Kita harus mempersiapkan masa depan mereka dengan baik. Pendidikan paling
penting, kalau bisa punya asuransi, lalu lebih baik lagi kalau bisa punya tempat
tinggal juga, soalnya makin hari harga rumah makin ngga kebeli lho, harga
apartemen aja udah setinggi bangunannya, alias selangit.”
Jawaban tersebut sangatlah arif, tidak salah, lumrah dan
manusiawi sekali.Namun sayangnya belum lengkap, karena itu semua hanya tentang
duniawi. Hanya jasmani, tak menyentuhrohani.Lalu apa PR kita sebagai orang tua agar
merekasiap menjalani hidup ini? Apa bekal yang akan kita bawakan selama mereka“masih
sekolah” di dunia ini?
Sampai suatu ketika, di sebuah seminar saya menemukan
jawaban. “Our greatest gift, that we can
give to our child is our godly living.” Apa artinya? Mengingat English saya
standar, jadi terjemahan bebasnya adalah “Hadiah terbaik yang bisa kita berikan
buat anak-anak kita adalah contoh hidup
kita yang saleh, yang taat kepada Tuhan.”Kok berat amat ya? Pertanyaan
berikutnya adalah, “Mengapa perlu dikasih contoh?” dan “Mengapa juga harus kita
yang menjadi contoh sih?”
Anak-anak kita adalah peniru yang baik, dan celakanya,
sosok favoritnya untukditiru adalah ayah ibunya sendiri. Itulah hukum alam, itu
defaultnya. Lantas, apakah kita sudah jadi contoh yang pantas? Semuanya jadi
kembali ke tangan kita, wahai orang tua. Kalau Tuhan taruh mereka di dalam
keluarga kita, itu artinya kitalah yang diberikan mandat istimewa untuk
mendidik mereka. Inilah salah satu tanggung jawab kita yang dititahkan langsung
dari Sang Pencipta.
Jadi, bila ingin anak-anak kita punya kehidupan spiritual
yang baik, kepengen kelak anak kita menjadi orang yang tangguh mengarungi badai
hidup, rindu anak-anak kita rajin berdoa, giat beribadah, suka memberi dan berkarakter
baik? Marilah kita yang lakukan lebih dulu, dan biarkan saja mereka meniru. Bila
mereka melihat hubungan kita dengan Tuhan itu “menarik”, maka merekapun akan
tertarik untuk mengenal dan menjalin relasi dengan-Nya. Itulah yang menjadi
bekal rohaninya.
Menjadi teladan bagi anak bukanlah perkara mudah, bukan
suatu proyek tanpa risiko gagal, dan suatu pekerjaan yang tak tergantikan; namun
percayalah ini adalah tugas mulia yang patut diperjuangkan demi masa depan mereka.
Selamat berjuang!