Wednesday, May 18, 2016

Like Son LIke Father



Sudah hampir ganti bulan lagi, namun ia tak kunjung pergi. Meski diusir berkali-kali, ia terus kembali. Ia bernama batuk, yang ”menginap” di tenggorokan Nolan – putra kami - selama tiga minggu terakhir ini. Obat batuk sudah habis sebotol, namun batuknya masih juga nyantol. Sirup obat batuk herbal berhasil membuat batuknya reda, tetapi tetap masih ada. Tumben, biasanya kedua obat itu mujarab, mengapa kali ini mereka kehilangan khasiat?

Setelah kami amati, yang membuat si batuk sulit move on adalah Nolan kurang disiplin. Ia masih sesekali mengonsumsi kudapan yang diharamkan tatkala batuk. Nolan sukses menolak tawaran french fries dari tantenya, namun ia tak kuasa untuk tidak mencicipi es krim milik opanya, dan tergoda menerima hibah biskuit coklat dari teman sekolah minggunya. Akhirnya, karena batuknya tak pulih-pulih, kami membawa Nolan ke dokter, lalu diberi racikan antibiotik yang membuat Sang Batuk tak berkutik.

Yang satu mulai sembuh, yang lain kambuh. Saat batuk Nolan jarang terdengar, giliran tenggorokan saya yang berkoar, batuk disertai dahak. Dua tiga hari pertama, saya sangka ini batuk biasa yang akan hilang dengan sendirinya; namun saya salah. Hari keempat, saya pun menenggak obat sirup eks Nolan. Sayangnya, baru minum sekali saja, isi botolnya sudah tiada.

Batuk pun timbul tenggelam, kadang muncul kadang hilang. Penasaran, akhirnya saya membeli sebotol obat herbal merek lain, hope it works! Namun, batuk belum juga menyingkir.

Saya teringat perjuangan Nolan, bagaimana ia jatuh bangun untuk berkata ”Say No!” pada pantangan-pantangan yang ditawarkan kepadanya. Ternyata, saya tidak setangguh dirinya. Saya, yang menyuruh Nolan puasa terhadap coklat dan es krim, ternyata bukanlah guru yang baik. Saat ada teman kantor yang menawarkanku coklat, saya menerimanya dengan senang hati. Segala bentuk gorengan saya lahap. Dan ketika terik matahari melanda, orange float with vanilla ice cream saya jadikan pelepas dahaga. Pantesan batuk ini betah! In this case, pepatah ”like father like son” berubah jadi ”like son like father”.

Jelaslah, orangtua harus menjadi panutan bagi anak, bukan sebaliknya. Kita yang lebih berumur, lebih dahulu menginjak dunia, lebih berpengalaman, lebih tahu baik dan buruk; haruslah memberikan contoh hidup yang benar bagi mereka.

Kalau kita melarang mereka main tablet sembari sarapan, kita juga nggak boleh chattingan waktu lunch di kantor. Kalau kita menyuruh mereka tidur pukul sembilan supaya besok tidak kesiangan, kita juga jangan begadang demi menyelesaikan serial film Korea. Kids are watching us! Yes, they’re watching us, always!! Dan ingat, walaupun kita melakukan semua itu tanpa dilihat anak-anak kita, our Lord, our Dad in heaven are watching us, always!

Yuk parents, mari menjadi orangtua yang seharusnya bagi anak-anak kita! Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh dewasa kalau orangtuanya kekanak-kanakan?

Jerapah yang Pincang

Nolan, putra balita kami, senang sekali bermain figur miniatur binatang. Hewan ‘bohong-bohongan’ itu acapkali disusunnya rapi, seolah sedang berada di hutan atau kebun binatang. Walaupun baru ‘memelihara’ beberapa ekor dan spesies saja, Nolan sangat suka bermain dengan mereka. Sampai pada suatu malam, kami membelikannya setengah lusin binatang mini baru, meramaikan koleksi satwanya. Sebelum tidur, saya mengajak Nolan ‘membebaskan’ para hewan tersebut dari bungkus plastiknya. Sembari mengeluarkan mereka satu per satu, tampak wajahnya sangat sumringah. Ya, itulah anak-anak, kalau senang langsung senyum, kalau sedih langsung manyun; tak pernah bermuka dua. Nolan pun mulai mengatur formasi mereka di atas kasur. Ada gajah bertelinga lebar, singa si raja rimba, harimau Sumatera, macan tutul betina, kuda berkulit hitam putih, dan terakhir ‘rusa kurus berleher panjang’ alias jerapah. Satu demi satu, hewan-hewan liar itu didirikannya. Mulai dari gajah, zebra hingga trio macan berhasil berdiri tegak di atas sprei yang bergelombang. Di dunia fauna, mereka memang dikenal sebagai binatang berkaki empat yang kuat dan perkasa. Jadi tidaklah heran, mereka dapat berdiri dengan mudah. Sekarang giliran si jerapah. Dengan jari telunjuk dan jempol mungilnya, Nolanpun mendaratkan kaki hewan jangkung itu di atas kasur. “Eh…kok jerapahnya jatuh, Pa? Kok jerapahnya ngga bisa berdiri?” seru Nolan panik. Dicobanya lagi dan lagi, namun lagi-lagi jerapah itu terhempas ke kasur. Raut ceria Nolan mulai terenggut, berganti dengan cemberut. Ia kesal dan sedih sekali melihat si jerapah. Nolanpun mulai marah dan menangis, “Kenapa jerapahnya ngga bisa berdiri, Pa?”. Setelah kuselidiki, ternyata kaki si jerapah pincang. Tiga kaki menapak tanah, namun kaki kiri belakangnya mengambang, pantas saja tidak seimbang. Ia timpang, sehingga hanya mampu berdiri bila ditopang. Kucoba jelaskan kepada Nolan mengenai hal ini, “Nol, dia kakinya miring, jadi harus dipegangin supaya bisa berdiri.” Tangisan kesalnya justru mengeras, “KENAAAPA kakinya miring, Pa? HARUS-nya dia bisa berdiri!!” Tak sempat pikir panjang, spontan ‘ku menjawab, “Kakinya miring karena orang yang buatnya kurang pinter, Nol.” Ooops, sepertinya jawabanku salah! Amarahnya makin menggelora, dan ia terus bertanya, “KENAPA orang yang buatnya gitu, Pa? ‘Kan HARRUSS-nya bisa berdiri!!” Nolan kecewa berat dan tak dapat menerima kepincangan jerapah barunya. Karena tak punya jawaban tepat, akupun mencoba menghiburnya, “Udah Nol, jerapahnya simpen aja ya, main binatang yang lain aja ya,” sambil menunjuk ke singa dan hewan lain yang bisa berdiri. Namun ia tetap bersikeras, “KENAPA Pa?? HARRRUUSSS-nya jerapahnya bisa berdiri!!” Nolan tetap tak bisa menerima, ia terus menangis dan akhirnya meningggalkan semua binatang mainan itu. Karena seekor jerapah yang gagal berdiri, ia melupakan kesuksesannya menegakkan lima binatang lainnya. Ya, itulah anak-anak. Dari kisah sedih di atas, saya tersadar bahwa kitapun orang dewasa seringkali seperti anak-anak. Kita sulit sekali menerima hal-hal yang TIDAK SESUAI dengan kehendak / pemikiran kita. Ketika kita mendapat pekerjaan di tempat yang tidak pas dengan keahlian dan passion kita; timbullah pertanyaan, “MENGAPA? HARUS-nya ‘kan saya kerja di sana, bukan di sini!” Saat kita menemukan ada sifat suami / istri kita yang tidak kita suka, kita mengomel, “MENGAPA kamu begitu? HARUS-nya ‘kan kamu begini!” Waktu kita dianugerahkan seorang anak yang ternyata tidak sesuai harapan kita, kita mengeluh, “KOK kamu mengecewakan mama papa? HARUS-nya ‘kan kamu membahagiakan mama papa dong!” Mengapa kita sulit menerima keberadaan kita? Bukankah semua yang kita miliki adalah pemberian TUHAN? Mengapa kita beranggapan bahwa yang seharusnya adalah yang sesuai dengan pemikiran kita? Bukankah rencana TUHAN jauh melampaui pemikiran kita? Jadi, kalau semuanya berasal dari Allah yang rancangan-Nya Maha Sempurna, masihkah kita marah dan kecewa karena ‘jerapah yang pincang’? “Percaya dan ikutilah jalan-Nya, pasti ada yang indah di ujung sana.”