Saturday, August 29, 2015

Belajar dari Tukang Rujak




“Rujak Padang.. .rujak jao, makanlah duo… nun di Kota Padang,”  kira-kira begitulah lantunan seorang bapak berlogat Sumbar tatkala lewat di depan rumah kami. Seraya mendorong gerobaknya menyusuri malam, bapak berkopiah hitam itu menjajakan sesuatu yang tak lazim disantap saat hari gelap: rujak. Mendengar suara tenornya, saya seolah ‘terpental’ ke tahun 1993 silam, tahun di mana saya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kelapa Gading; karena di ‘tahun ayam’ itulah, nyanyian itu perdana sampai ke telinga.
Hmm… sekarang tahun 2015, berarti sudah berapa tahun ya? Buset dah! Apakah benar ini Bapak yang sama? Ternyata benar, dan ia konsisten tidak berubah. Setia…masih seperti yang dulu. Akhirnya, demi bernostalgia dan didorong sedikit rasa iba, saya pun menyetop gerobak rujak Si Bapak (yang sebenarnya lebih pantas dipanggil opa). “Pak, rujak padang satu ya, jangan pake cabe ya, Pak.”
Ia pun mulai mengeluarkan ulek dan cobek keramatnya, mengupas ubi merah, nenas masam, mangga mengkel, belimbing kematengan dan beberapa buah peyot lainnya. Salah satu ciri khas rujak ini adalah bumbunya dicampur dengan pisang batu, yang ditumbuk menjadi satu. Last but not least, ia merogoh beberapa keping kerupuk oranye dari kaleng Khong Guan, sebagai topping dari signature dish-nya.
Diam-diam, saya asyik mengamati tiap detil gerobaknya. Wow….ini adalah armada kayu yang percis dengan 22 tahun lampau! Gerobak roda dua berkelir hijau, yang di kacanya bertuliskan lirik tembang “Rujak Padang” hafalannya. Lampu penerangannya pun belum LED (light-emitting diode), masih petromak minyak; sebuah pelita kuno yang sudah ditemukan sebelum Thomas Alfa Edison lahir. Segala sesuatu di depan mata saya adalah benda-benda yang pernah saya lihat saat masih bercelana pendek merah. Amazing, serasa back to the past!
Overall, hanya dua hal yang berubah: harga rujak yang jauh melonjak (now IDR 20.000 / pax), dan umur Si Uda yang tak lagi muda.
Ketika tengah menikmati buah yang diiris-iris, hati ini merasa miris. Saya sedih bila mengingat bapak penjual rujak; yang meski sudah renta, namun harus mendorong gerobak usangnya keluyuran dari gang ke gang, bernyanyi sepanjang malam. Dan tanpa terasa, ia sudah melakoninya selama tiga dasawarsa, begitu pengakuannya.
Melalui kisah ini, saya kembali disadarkan betapa cepat dan singkatnya waktu. Tanpa perlu diburu-buru, waktu akan berlari dengan sendirinya serta menyeret kita turut dalam pelariannya. Jangan sekali-kali menganggap kito ‘rang ‘kan masih muda, jadi boleh dong leha-leha. Sebab bila kita terus terlena, bisa-bisa kita kena getahnya. Ingat, tahun demi tahun akan berganti, tanpa ada yang sanggup membuatnya berhenti. Usia bukan untuk disia-siakan.
Hanya orang malas yang membiarkan waktunya bablas begitu saja. Ia ibarat anak kecil dalam lagu: “Bangun tidur ‘ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi….bantal guling bau pesing,” yang kelihatannya sedang bersiap-siap, namun sesungguhnya tak pernah berangkat ke sekolah. Hanya ke toilet sebentar, lalu kembali menghabiskan waktu di kamar. Ia tidak ke mana-mana, mirip seperti hamster yang hanya muter-muter di treadmill bundarnya.
Sebagian dari kita mungkin punya banyak waktu, sebagian lagi merasa tak ada waktu; namun yang pasti, tak seorangpun dari kita sebenarnya tahu, berapa lama lagi waktu yang kita punya. Jadi, pastikanlah setiap detiknya tidak terbuang dengan percuma. Mintalah hikmat kepada Tuhan, yang menganugerahkan waktu kepada kita, agar berapapun waktu yang kita habiskan di dunia, berguna dan bermakna di mata-Nya.