“Rujak Padang.. .rujak
jao, makanlah duo… nun di Kota Padang,” kira-kira begitulah lantunan seorang bapak berlogat Sumbar
tatkala lewat di depan rumah kami. Seraya mendorong gerobaknya menyusuri malam,
bapak berkopiah hitam itu menjajakan sesuatu yang tak lazim disantap saat hari
gelap: rujak. Mendengar suara tenornya, saya seolah ‘terpental’ ke tahun 1993
silam, tahun di mana saya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kelapa Gading;
karena di ‘tahun ayam’ itulah, nyanyian itu perdana sampai ke telinga.
Hmm… sekarang tahun 2015, berarti sudah
berapa tahun ya? Buset dah! Apakah
benar ini Bapak yang sama? Ternyata benar, dan ia konsisten tidak berubah. Setia…masih
seperti yang dulu. Akhirnya, demi bernostalgia dan didorong sedikit rasa iba,
saya pun menyetop gerobak rujak Si Bapak (yang sebenarnya lebih pantas dipanggil
opa). “Pak, rujak padang satu ya, jangan
pake cabe ya, Pak.”
Ia pun mulai mengeluarkan ulek dan cobek keramatnya, mengupas
ubi merah, nenas masam, mangga mengkel,
belimbing kematengan dan beberapa buah peyot lainnya. Salah satu ciri khas
rujak ini adalah bumbunya dicampur dengan pisang batu, yang ditumbuk menjadi
satu. Last but not least, ia merogoh
beberapa keping kerupuk oranye dari kaleng Khong
Guan, sebagai topping dari signature dish-nya.
Diam-diam, saya asyik mengamati tiap detil gerobaknya. Wow….ini adalah armada kayu yang percis dengan 22 tahun lampau! Gerobak
roda dua berkelir hijau, yang di kacanya bertuliskan lirik tembang “Rujak
Padang” hafalannya. Lampu penerangannya pun belum LED
(light-emitting diode), masih petromak minyak; sebuah pelita kuno yang sudah ditemukan
sebelum Thomas Alfa Edison lahir. Segala sesuatu di depan mata saya adalah
benda-benda yang pernah saya lihat saat masih bercelana pendek merah. Amazing, serasa back to the past!
Overall, hanya dua hal yang berubah: harga
rujak yang jauh melonjak (now IDR 20.000
/ pax), dan umur Si Uda yang tak lagi muda.
Ketika tengah menikmati buah yang diiris-iris, hati ini
merasa miris. Saya sedih bila mengingat bapak penjual rujak; yang meski sudah
renta, namun harus mendorong gerobak usangnya keluyuran dari gang ke gang,
bernyanyi sepanjang malam. Dan tanpa terasa, ia sudah melakoninya selama tiga
dasawarsa, begitu pengakuannya.
Melalui kisah ini, saya kembali disadarkan betapa cepat
dan singkatnya waktu. Tanpa perlu diburu-buru, waktu akan berlari dengan
sendirinya serta menyeret kita turut dalam pelariannya. Jangan sekali-kali menganggap
kito ‘rang ‘kan masih muda, jadi
boleh dong leha-leha. Sebab bila kita
terus terlena, bisa-bisa kita kena getahnya. Ingat, tahun demi tahun akan
berganti, tanpa ada yang sanggup membuatnya berhenti. Usia bukan untuk
disia-siakan.
Hanya orang malas yang membiarkan waktunya bablas begitu
saja. Ia ibarat anak kecil dalam lagu: “Bangun
tidur ‘ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi….bantal guling bau pesing,”
yang kelihatannya sedang bersiap-siap, namun sesungguhnya tak pernah berangkat
ke sekolah. Hanya ke toilet sebentar, lalu kembali menghabiskan waktu di kamar.
Ia tidak ke mana-mana, mirip seperti hamster yang hanya muter-muter di treadmill
bundarnya.
Sebagian dari kita mungkin punya banyak waktu, sebagian
lagi merasa tak ada waktu; namun yang pasti, tak seorangpun dari kita sebenarnya
tahu, berapa lama lagi waktu yang kita punya. Jadi, pastikanlah setiap detiknya
tidak terbuang dengan percuma. Mintalah hikmat kepada Tuhan, yang
menganugerahkan waktu kepada kita, agar berapapun waktu yang kita habiskan di
dunia, berguna dan bermakna di mata-Nya.