Tuesday, May 16, 2017

When We're Going Home





Setahun silam, Nolan,putra kami yang kala itu belum genap 4 tahun, bertanya, “Mama papa nanti tua?” jawab kami “Iya Nol.” Tanyanya lagi polos, “Mama papa nanti meninggal?” “Iya Nol.” jawab kami sama. “Terus nanti aku siapa yang temenin dong?” Lalu jawab kami, “Nanti kalo Tuhan berkenan, Nolan menikah, jadi mama papa juga, nanti istri dan keluarga Nolan yang temenin Nolan.” Iapun terdiam, tak lagi melontarkan pertanyaan lanjutan, malah sudah sibuk dengan hal lainnya. Itulah anak-anak, suka mendadak penasaran, namun sekejap puas dengan jawaban sekilas.

Lain anak-anak, lain orang tua. Pertanyaan iseng Si Nolan justru mengusik benak saya. Terngiang sepasang kata keramat yang menghantui realita hidup manusia, tua dan mati (bila tidak mati muda). Sadar atau tidak, pertambahan usia yang kita dapatkan gratis setiap tahun, sesungguhnya mendiskon umur kita di dunia ini. Memang sih, umur di tangan Tuhan, tapi apakah kita siap jika sudah ‘waktunya pulang’? Apakah anak-anak kita siap untuk kita tinggalkan?

Di tengah sulitnya menjawab pertanyaan itu, malah timbul pertanyaan susulan,“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan anak-anak kita ketika waktunya Tuhan tiba?” Mungkin, sebagian kita spontan berkata, “Kita harus mempersiapkan masa depan mereka dengan baik. Pendidikan paling penting, kalau bisa punya asuransi, lalu lebih baik lagi kalau bisa punya tempat tinggal juga, soalnya makin hari harga rumah makin ngga kebeli lho, harga apartemen aja udah setinggi bangunannya, alias selangit.”

Jawaban tersebut sangatlah arif, tidak salah, lumrah dan manusiawi sekali.Namun sayangnya belum lengkap, karena itu semua hanya tentang duniawi. Hanya jasmani, tak menyentuhrohani.Lalu apa PR kita sebagai orang tua agar merekasiap menjalani hidup ini? Apa bekal yang akan kita bawakan selama mereka“masih sekolah” di dunia ini?

Sampai suatu ketika, di sebuah seminar saya menemukan jawaban. “Our greatest gift, that we can give to our child is our godly living.” Apa artinya? Mengingat English saya standar, jadi terjemahan bebasnya adalah “Hadiah terbaik yang bisa kita berikan buat anak-anak kita adalah contoh hidup kita yang saleh, yang taat kepada Tuhan.”Kok berat amat ya? Pertanyaan berikutnya adalah, “Mengapa perlu dikasih contoh?” dan “Mengapa juga harus kita yang menjadi contoh sih?”

Anak-anak kita adalah peniru yang baik, dan celakanya, sosok favoritnya untukditiru adalah ayah ibunya sendiri. Itulah hukum alam, itu defaultnya. Lantas, apakah kita sudah jadi contoh yang pantas? Semuanya jadi kembali ke tangan kita, wahai orang tua. Kalau Tuhan taruh mereka di dalam keluarga kita, itu artinya kitalah yang diberikan mandat istimewa untuk mendidik mereka. Inilah salah satu tanggung jawab kita yang dititahkan langsung dari Sang Pencipta.

Jadi, bila ingin anak-anak kita punya kehidupan spiritual yang baik, kepengen kelak anak kita menjadi orang yang tangguh mengarungi badai hidup, rindu anak-anak kita rajin berdoa, giat beribadah, suka memberi dan berkarakter baik? Marilah kita yang lakukan lebih dulu, dan biarkan saja mereka meniru. Bila mereka melihat hubungan kita dengan Tuhan itu “menarik”, maka merekapun akan tertarik untuk mengenal dan menjalin relasi dengan-Nya. Itulah yang menjadi bekal rohaninya.

Menjadi teladan bagi anak bukanlah perkara mudah, bukan suatu proyek tanpa risiko gagal, dan suatu pekerjaan yang tak tergantikan; namun percayalah ini adalah tugas mulia yang patut diperjuangkan demi masa depan mereka. Selamat berjuang!

Bibir Oh Bibir


Siang itu terasa adem-adem saja. Saya sedang asyik bekerja di kantor, sedangkan istri dan anak sedang bermain bersama di sekolah. Maklum, mereka adalah guru dan murid di Taman Kanak-kanak yang sama. Namun, mendadak siang itu ‘memanas’ saat Iph*ne jadul saya memunculkan notifikasi Wh*tsapp dari istri tercinta, “Babe… Si Nolan (putra kami) barusan jatuh, bibirnya sobek, darahnya banyak banget, gimana ya?” dan tak lama berselang foto bibir mungil yang menganga di bagian bawah itupun muncul. “Ya ampun!”, teriakku keras-keras dalam hati. “Ya udah, tar sore kita langsung bawa ke rumah sakit ya,” reply-ku datar via WA, seolah tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.
Konsentrasi kerjapun mulai menurun. Ingin rasanya menyentil kedua jarum jam ke arah jam pulang agar dapat segera bertemu dan melihat langsung bagaimana kondisi korban. Teng-tong, sudah setengah lima! “Teman-teman, saya pulang duluan ya, mau ke dokter, seruku terburu-buru.”
Setiba di rumah sakit yang selama ini menjadi mitra keluarga kami, tampaklah seorang bocah sedang duduk diam di samping bundanya. Ia sedang asyik makan roti keju yang tinggal setengah di genggamannya. Bersyukur Nolan masih nafsu makan, padahal melihat bibirnya kena liur saja sudah perih rasanya, apalagi kena lumeran keju.
Sayapun bertanya kepadanya, kenapa Nolan tadi bisa jatuh? “Tadi aku ngga bisa duduk diem pas makan, ngga taat mama,” jawabnya sambil mengunyah. Ternyata karena tak mau patuh, Nolan jadi terjatuh. Sebuah ketidaktaatan memang selalu saja ada konsekuensinya, dan konsekuensi itulah yang seyogyanya membuat kita belajar, supaya tak lagi jatuh untuk kedua kalinya.
Susterpun memanggil, “Anak Zacharion Nolan.” Dirundung rasa cemas, kami bergegas menuju ruang dokter bertugas. Melihat jurang di bibir yang cukup dalam, dokter anak tak dapat berbuat banyak. Ia menyarankan agar bibir Nolan dijahit dan berkonsultasi ke dr. Ruru (dokter bedah anak yang dulu pernah menyunat Nolan). “Ngga bisa pakai obat aja, Dok?” tanya kami penuh harap. Dokter hanya bilang, lukanya cukup lebar, jadi berisiko infeksi bila tak segera ditutup. Ia pesimis, bila tak dijahit, maka proses penyembuhannya takkan sempurna, sobekan akan membekas hingga dewasa.
Sebagai orang tua, stress sekali rasanya. Kami dihadapkan pada dua pilihan: segera jahit atau bibir akan ‘cacat sedikit’. Di sisi lain, sulit rasanya membayangkan betapa ngerinya proses operasi kecil pada bayi baru gede ini. Sariawan kena garam saja sakit, apalagi bibir kena jarum jahit. Singkat cerita, dokter hanya memberi antibiotik saja, dan surat rujukan kepada Ruru, sang dokter bedah.
Kamipun tiba di ruang dokter bedah anak. Ternyata, Dokter Ruru sedang mengoperasi, sehingga tak bisa diajak konsultasi. Di tengah kebimbangan, kami putuskan untuk membeli antibiotik dahulu ke apotik, sembari menunggu, kalau-kalau dokter Ruru selesai. Kami sedih, pasrah, meratapi bibir Nolan yang terbelah. Kelihatannya memang harus dijahit, namun tak sanggup rasanya menjalani prosesnya. 
 Tiba-tiba saja, berbisik sebuah harapan kecil di telinga hati, “Bibir Nolan bisa sembuh kok tanpa perlu dijahit. Tidakkah kamu ingat peristiwa bersejarah di Taman Getsemani, ketika Tuhan Yesus ditangkap? Seorang murid Yesus menyerang pengawal yang hendak menangkap-Nya dengan sebilah pedang, sehingga putuslah telinga pengawal itu. Lalu Yesus menjamah telinganya dan menyembuhkannya.” Dan seperti kita tahu ceritanya, telinganya sembuh seketika! 
Cerita itu seolah menantang saya. Kalau kuping copot saja bisa disambung-Nya, bukankah terlebih mudah merapatkan bibir yang terbuka? Tuhan bisa pakai apa saja dan siapa saja untuk menyembuhkan, dan wajar saja kalau cara-Nya adalah dengan operasi oleh Dokter Ruru; namun entah kenapa, kali ini rasanya Tuhan ingin kami percaya bahwa Ia berkuasa menyembuhkan sobekan tanpa jahitan.
Sambil menggendong Nolan, saya berbisik lirih di telinganya, “Nol, kata dokter bibir kamu harus dijahit…..” Iapun langsung menangis ketakutan, “Aku ngga mau dijahit, Pa!” lanjut saya… ”Iya Nol, kata dokter bibir kamu harus dijahit, tapi….. kita mau berdoa sama Tuhan supaya ngga perlu dijahit. Kamu inget cerita waktu Tuhan Yesus ditangkap dan ada pengawal yang kupingnya putus?“ tanyaku. Sambil terisak Nolanpun mengangguk. “Kamu inget Nol, Tuhan bisa sambungin tanpa dijahit kan?” Iapun mengangguk lagi. “Tapi ‘kan sekarang Tuhannya gada? tanyanya logis. “Iya Nol, tapi ‘kan kita bisa berdoa.” Nolan malah teringat cerita lain, katanya, “Tuhan bisa sembuhin dengan ngomong doang ya: ‘heal!’ ”. Malam itu menjadi malam ujian bagi iman kami. Kami putuskan batal konsultasi dengan Dokter Ruru, dan segera pulang ke rumah dengan berbekal antibiotik.
Keesokan harinya, robekan di bibir Nolan masih terbuka, jujur apa adanya. Belum ada tanda-tanda ia akan tertutup rapat. Namun bersyukur, Nolan tetap cerewet seperti biasa, itu pertanda baik. Kami hanya mengolesinya dengan madu dan menyuruhnya berkumur dengan obat antispetik, sebagai pengganti gosok gigi. Dua-tiga hari kemudian, penampakannya masih mengerikan. Sempat terpikir untuk kembali konsultasi ke dokter; namun kami urungkan niat itu. Setelah seminggu berselang, barulah bibir yang buruk rupa mulai membaik. Masih bengkak sih, tapi sodetannya sudah agak merapat. Syukurlah setelah dua minggu, lukanya pulih, dan ia bisa kembali menyikat gigi seperti biasa.
Thanks God… akhirnya bibir Nolan sembuh tanpa dijahit! Meskipun prosesnya sangat lambat dan sempat meragukan, tapi kami bersyukur Tuhan memberikan iman dan kesabaran, sehingga kami bisa melihat tangan-Nya merajut bibir yang benjut ini. Apakah lukanya membekas seperti kata dokter? Ternyata dokter benar, lukanya membekas. Namun biarlah bekas luka ini mengingatkan kami, dan terutama Nolan, bahwa Tuhan pernah menjamah bibirnya yang robek, sehingga sembuh tanpa dioperasi. Dan biarlah kisah yang panjang ini menjadi sebuah memori, bahwa Tuhan yang dulu di Getsemani, kuasa-Nya masih sama hingga hari ini. Tuhan memberkati.