Saturday, May 23, 2015

Love the Whore (based on Hosea 3)


(sebuah pesan dari Tuhan yang penuh kasih...
...untuk umat-Nya yang tidak setia)

Mencintaimu setengah mati, namun dikhianati;
mengasihimu segenap jiwa, ternyata kau mendua.
Menantikanmu sepenuh hati, hanya menyiksa diri;
mengharapkanmu kembali, ibarat rindu abadi.

Secepat apapun kau coba lari, sejauh apapun kau menghindar;
Aku ‘kan tetap mencari, Aku ‘kan terus mengejar.
Berkali-kali kau menjual diri, diobral dan dinodai;
namun dengan mahalnya, kau pasti Kutebus kembali.

Sekarang, duduklah diam di sini!
Pasung dirimu, dan renungkan s’gala pelanggaranmu!!
Cobalah kecap, coba kau cicipi,
rasakan betapa sakitnya hati-Ku ini!

Cintaku memang setinggi langit,
kasihku memang sedalam lautan;
namun sehebat itu pula kebencian-Ku,
pada dosa-dosa buah tanganmu.

Kembalilah pada-Ku Sayang, jangan kecewakan-Ku lagi.
Duduklah manis di pelukan-Ku, jangan sia-siakan.
Berhentilah mendua hati, ceraikanlah dosa yang kaucintai;
karena itu semua, memakukan luka yang dalam, di nadi-Ku ini.

Mari, kita tempuh hidup yang baru.
  

Thursday, May 7, 2015

A Message to Mr. Workaholic

Tak bergeming!
Pantatnya tertancap dalam di cekungan kursi kantornya.
Kerjaannya hanya kerja,
tak pedulikan raga bahkan keluarga.

Ketika sang istri bertanya, mengapa ia seenak jidat?
Mengapa kerja menjadi madat?
Ia hanya mengerinyatkan dahi
dan di kening keriputnya tertulis "Ada deadline!"

Sebuah garis yang seolah membuatnya mati, bila ia gagal 'tuk melewati.

Hai para workaholic!
Istirahatlah sejenak, agar hidupmu enak!
Tarik nafaslah, agar kau tak lagi lelah!

Sudah lupakah bahwa kau punya rumah?
Pulanglah, sebelum anakmu lupa ayahnya.
Pulanglah, sebelum kesehatanmu habis di meja kerja.
Pulanglah, sebelum kesibukan memulangkanmu ke rumah Bapa.

Nikmatilah kerasnya hidup,
dan syukurilah, sebagaimana mestinya.
Karena hidupmu berharga.

Le Sehan



LEha-leha SEtengah rebaHAN, atau yang akrab disingkat lesehan, memang paling wueeenak dilakukan setelah badan letih seharian. Apalagi ditemani dengan sekepal nasi kucing, beberapa tusuk sate usus, plus seteguk susu jahe panas. Ngga kebayang nikmatnya! Ternyata inilah hobi mayoritas warga Yogyakarta di kala menghabiskan senja. Tak heran, puluhan gerobak angkringan nangkring di kota pelajar ini, terlebih di Malioboro.

Malam ini malam terakhir kami di kampungnya Sri Sultan. Pengen banget rasanya merasakan makan malam ala rakyat Jogja, sebuah dinner bersahaja tanpa meja. Pasti seru deh makan beralaskan ‘permadani’ yang digelar sepanjang trotoar. Tapi rasanya mimpi itu mustahil, karena putra mahkota kami (Nolan) masih terlalu batita untuk diajak melantai, apalagi makan tusukan organ hewan bagian dalam, alias sate jeroan. Tampaknya ngidam angkringan ini terpaksa harus ditunda hingga Nolan tumbuh dewasa.

Namun syukurlah Tuhan itu Mahatahu dan baik pula. Diam-diam, Ia mendengarkan impian-impian kecil kami, termasuk mimpi untuk bisa makan angkringan! Ia menjawab mimpi kami dengan ‘mengizinkan’ Si Nolan terlelap lebih awal, serta ‘mengutus’ Ibuku untuk menjagai tidurnya di kamar hotel tempat kami menginap. Yiippiy.. itu artinya aku dan bojoku bisa bebas pergi lesehan dinner dong! “A dream comes true. Let’s go, Darling!” seruku mengebu-gebu.

“Mas, enaknya kami ngangkring di mana ya?” tanyaku polos pada Mas Wahono, driver sewaan sekaligus tour guide kami selama 2x12 jam belakangan ini. “Hmm…di Malioboro aja, yang agak ke sebelah utara.” Jawabku, “OK Mas, I believe in you.”

Lima belas menit berselang, tibalah kami di hiruk-pikuk Malioboro, persisnya di depan sebuah gerobak beratap terpal merah. "This is it!" seru Mas Wahono. Gareng Petruk, demikian nama duet tokoh wayang yang menjadi merek gerobak penuh kudapan itu. Dengan penuh nafsu (makan), kami pun langsung menyerbu tempat itu.

"Waaaah...seru banget nih!" Belasan rasa nasi kucing dipajang rapi di sepanjang etalase gerobak tersebut. Ada nasi jamur pedas, nasi teri, nasi langgi, nasi ati ampela, and many more. Tusukan satenya yang berbaris rapi sungguh menusuk hatiku. Aku pun tergoda mengajak beberapa pasang dari mereka menemani makan malamku. Seolah masih kurang, di ujung etalase berkerumun aneka gorengan dan tempe mendoan yang siap memuaskan kerongkongan. Hmm…so yummy for my tummy!

Seusai menyeleksi apa saja yang layak ada di piring kami, akupun langsung ngacir ke kasir. Saban citcenggo (baca: 37.500 rupiah), itulah harga lesehan dinner kami malam itu.

Di tengah nikmatnya the taste of Jogja dan serak-serak medoknya logat pengamen Malioboro, tampak berkeliaran dua bocah lelaki sedang asyik mengemis dari tikar lesehan satu ke tikar lainnya. Usianya kira-kira setara anak SD kelas 2 (entah sebenarnya mereka sekolah atau tidak). Keduanya berkaos lusuh dan kegombrongan, kaos yang satu merah polos, yang satunya lagi bergambar manusia laba-laba. Melihat mereka, hatiku biasa saja. Tiada terbersit niat memberi recehan, karena kalau di Jakarta, menjadi ‘dermawan’ sudah dilarang (Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum). Akhirnya, kedua bocah itupun lewat di depan kami tanpa beroleh apa-apa.

Tak lama kemudian, sepasang bocah kumel tadi kembali tertangkap oleh pandanganku. Mereka sedang menunggu sang petugas Gareng Petruk yang memberi mereka sebungkus susu murni. Aksi donasi susu itupun langsung menyentuh hatiku dan membuatku bertanya pada istriku, “Babe, bolehkah aku mentraktir mereka makan malam ini?” Iapun mengangguk pertanda memberi restu. Didorong oleh rasa ingin memberi yang meluap-luap, akupun segera menghampiri mereka.

“Dik, kalian berduaan saja?” tanyaku sambil menepuk salah satu pundak mereka. “Iya Kak” jawab mereka kompak. “Mau makan?” lanjutku. “Mau Kak”. “Yuk, sini Dik, silakan pilih mau makan apa.” Mereka pun segera berlari ke ujung gerobak, tempat di mana bungkusan nasi kucing berkerumun. Mata si bocah berkaos merah langsung menjelajah, memilih dengan sangat hati-hati, nasi kucing rasa apa yang akan diambilnya. Setelah mengambil sebungkus, ia terdiam dan menatapku dan seolah berkata dalam hati “Ini Kak, sudah.” Lalu kataku kepadanya, “Dik, ngga pake lauk? Satenya ambil juga aja.” Barulah kembali matanya jelalatan menilik satu demi satu tusuk sate yang tergeletak di sana. Sate kulit ayam, itulah yang menjadi pilihannya, hanya setusuk saja.      

Selama bocah berkaos merah memilih, bocah berkaos Spiderman ternyata diam saja. Air mukanya bertanya penuh keraguan, apakah dia juga ditraktir makan angkringan? Setelah aku berkata, “Ayo Dik, kamu ambil makanan juga,” barulah ia yakin, berani menghampiri gerobak makanan dan mengambil sebungkus nasi kucing, cuma itu saja.

Dalam hatiku bertanya, “Kok mereka cuma makan itu saja? Bukankah sah-sah saja mereka nyomot lauk banyakan, mumpung lagi ada yang bayarin?” Akhirnya, malah akulah yang menambahkan dua keping gorengan tempe dan piscok sebagai dessert mereka. “Ini Mba, ini tambah ini jadi berapa?” tanyaku pada kasir sembari menunjuk makanan yang sedang mereka genggam. Lunas, selamat makan adik-adikku! Merekapun mengucapkan “Makasih, Om” dan segera berlari mencari lapak kosong di tepi jalan untuk mereka berlesehan.
Anak-anak ini sungguh membuatku berdecak kagum. Meski menyandang predikat sebagai anak jalanan, perilaku mereka amat sopan. Mereka tidak lancang mengambil makanan sebelum benar-benar diizinkan. Kendati mereka lapar, namun mereka tidak lapar mata. Mereka memilih dengan jeli apa yang mereka inginkan, dan hanya satu saja. Walaupun seolah mereka ‘jarang’ dapat berkah, namun hati mereka jauh dari serakah. Mereka tahu apa artinya cukup dan mampu menikmati kesederhanaan, bahkan kejelataan hidup mereka.

Coba bandingkan dengan kita. Habis makan nasi padang sebungkus, tapi masih rakus. Sudah kenyang, namun bilang ngga nendang. Dikasih satu mau dua, punya tiga pengen lima. Kita sudah lupa, bahwa di KBBI ada sebuah kata: cukup. Kiranya kata ini bisa menolong kita untuk lebih mensyukuri hidup yang dianugerahkan Tuhan, dan menjauhkan kita dari segala ketamakan.

“Cukup setusuk saja, cukup satu bungkus saja.”

Cukup sampai di sini tulisan saya. Thanks for reading!