Thursday, June 24, 2010

Feel Blue

Terisak-isak... seperti habis menangis semalam
Kelopak mata bengkak, nampak bak kena hantam
Nafas ini sesak seolah hampa mendesak
Indera penglihat berkaca-kaca, mendramatisir sang air muka

Flu, makes me feel blue...

Tuesday, June 1, 2010

Mau Nyuri Mikir 2x, Mau Memberi Mikir 20x


Bukan kebetulan, bila detik ini aku mencari nafkah di sebuah perusahaan yang betul-betul peduli akan kebugaran para karyawannya. Bagaimana tidak, tiap pagi hari (kecuali di bulan suci) masing-masing kami disuguhi segelas plastik mungil susu segar berwarna-warni. Saking fresh-nya, jika ditelantarkan selama tiga jam di luar kulkas, susu tersebut akan kadaluarsa alias basi (katanya sih begitu).

Sayangnya, hanya segelintir dari kami yang gemar menenggak minuman sehat tersebut. Terus terang, selama nyaris sembilan bulan aku bekerja di sini, baru segelas saja yang berhasil membasahi kerongkonganku. Apakah karena rasanya tidak enak? Aah, ngga juga! Hanya saja citarasanya kurang nikmat. Lalu, bagaimana nasib kawanan susu karyawan itu? Tiada pilihan, hidupnya berakhir di pembuangan.

Bersyukur ada salah seorang temanku yang kreatif dan baik hati. Dua hari silam ia bercerita, “Eh, kemaren pas Sabtu gw lembur, susu-susu yang nganggur itu gw masukin kulkas, pas sorenya gw pulang, gw bawa n bagi-bagiin tuh ke anak-anak jalanan. Mereka seneng banget loh!” Spontan aku merespon, “Iya ya, ketimbang dibuang sayang, better dikasih ke anak jalanan ya!” Seorang temanku yang lain menyambung, “Iya Mar, besok lu bawa aja, pas pulang lewatin lampu merah, lu kasih deh tuh anak-anak yang nongkrong di sana. Besok pagi-pagi benar, susunya gw masukin kulkas deh, tapi sorenya jangan lupa lu bawa ya. Eh, sisain dua gelas ya, biasa, buat pembantu gw di rumah, OK, OK?” Sahutku, “Hmmh...eeee....iiii....ya, iya deh Ci.”

Esok pun tiba! Bak putri-putri perawan di atas permadani, susu-susu cantik itu datang di atas nampan, ditatang sang office boy tampan. Begitu mereka mendarat di meja, temanku bergegas memasukkannya ke dalam lemari es. Tak lupa ia berpesan, “Mar, nanti sore jangan lupa lu bawa ya.” “OK, Ci”, jawabku seraya mengangguk.

Jam kantor terasa cepat sekali. Belum dalam cekungan kursi kerjaku, sudah pukul 16:30. Yes, waktunya beberes, cabcuz! Oiya, para susu masih berada di kulkas! Kubuka pintu lemari es, ternyata mereka berlima sedang menggigil di sudut rak terbawah. Kupandang mereka, mulailah timbul kebimbangan dalam hati ini. Mendadak benakku digerayangi sejuta pemikiran dan pertanyaan yang berupaya menggagalkan rencana pembagian susu ini. “Siapa yang bakal gw kasih ya?” “Kayaknya pas pulang gw ngga lewatin lampu merah deh.” “Gimana kalau susunya ternyata udah basi ya? “Kalo anak-anak yang minum jadi diare gimana?” “Gimana kalo nanti ortunya nuntut?” “Wah, kalo besoknya gw dicegat di jalan gimana?” “Kalo....?” “Kalo...?” Stop! Dengan lembut, suara hatiku menyela dengan logat Alm. Gus Dur, “Mau ngasih orang aja kok repot?” Akhirnya, tanpa pikir panjang, kuraih kelima susu dari kulkas, kusekap dalam amplop bekas. “Susu, minumlah selagi dingin.” menjadi ‘subject’ di cover amplop itu.

Sepanjang perjalanan pulang dengan Honda, mataku jelalatan menjelajahi kolong jembatan. Menyisir tiap bujur trotoar, ibarat radar pencari rudal. Ahaay! Itu ada dua bocah bertelanjang kaki berlarian di trotoar. Tak diragukan lagi, mereka pastilah anak jalanan! Yaah....sayang aku sedang melaju kencang di lajur tengah. “Sayonara Dik, lain kali ya.”

Kurang dari satu kilometer lagi aku akan tiba di rumah, tapi ‘target’ belum juga muncul. Gimana nih? Sengaja aku jauhkan ruteku, melewati lampu merah yang biasanya tidak perlu aku lalui. Belum sampai ke garis depan, ada lima anak (salah satunya menggendong bayi), berpapasan denganku. Akhirnya, tanpa basa-basi, kuserahkan bungkusan susu itu kepada yang mengasuh bayi, “Dik, ini ada susu.” “Terima kasih, Pak”, sahutnya dengan nada datar, tanpa senyum yang berbinar. Aku langsung tancap gas, mission accomplished, thanks GOD!

Sungguh aneh tapi fakta. Seringkali saya, atau mungkin kita, lebih ‘penuh pertimbangan’ tatkala ingin melakukan perbuatan baik, ketimbang yang tidak baik. Lebih ‘berpikir masak-masak’ bila mau memberi daripada bila mau mencuri. Ketika mau melakukan hal yang buruk, ada berapa pertanyaan yang kita lontarkan pada diri kita? “Apakah ini salah?” “Apakah ini merugikan orang lain?” “Apakah ini menyakiti Tuhan?” “Apakah ini berdampak negatif bagi diri kita sendiri?” Lumayan, paling tidak ada empat pertanyaan. Namun, coba bandingkan dengan jumlah pertanyaan yang muncul saat misi mengantar susu tadi?

Hal berikutnya ialah seberapa besar kita mengharapkan ucapan terima kasih dan senyuman kepuasan dari orang yang kita beri atau layani? Saya pribadi sangat bersukacita bila melihat orang yang saya beri atau layani tersenyum dan meluap-luap penuh ekspresi syukur. Namun itu bukan hal penting, bahkan acapkali karena hal itulah kita jadi membusungkan dada dan merasa berjasa secara berlebihan; hingga jatuh dalam kesombongan. Hendaklah saat memberi, kita tidak mencari senyuman di wajah orang yang kita beri; melainkan di wajah Dia, yang memberi kita kesanggupan untuk memberi. Tuhan Yesus memberkati.

Memberi tidak pernah membuat kita “miskin”, justru hanya “orang miskinlah” yang tidak pernah memberi.

“... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”