Saturday, October 24, 2015

It is Human

Setiap orang punya rasa takut. Ada yang takut gelap, takut ketinggian, takut hantu atau takut kecoak. Ada juga yang takut ditolak, takut putus padahal belum jadian, sampai takut kehilangan. Ketakutan bisa bersumber dari mana saja dan apa saja. Bahkan anehnya, saya kenal seorang teman yang takut terhadap semangka. Ia pernah lari terbirit-birit  di sebuah resepsi pernikahan, hanya karena melihat potongan buah merah berair itu.

Nolan putra kami (3 tahun) juga punya ketakutan tersendiri. Ia takut sekali pipis. Padahal pipisnya di rumah sendiri kok, bukan di hutan seram ataupun semak-semak yang mengerikan. Lalu, kenapa ia ogah ke toilet padahal sudah kebelet? Ternyata ia takut merasa kesakitan saat harus buang air kecil (BAK). Harap maklum, Nolan baru saja disirkumsisi karena ada gangguan pada alat vitalnya. Menurut diagnosis sang dokter, Nolan mengidap fimosis, apakah itu? Silakan di-googling di yahoo ya, begitu kata salah seorang teman saya. 

Saat-saat menjelang pipis menjadi momen paling dramatis selama 10 hari belakangan ini. Tiada air seni tanpa air mata. Nolan yang ceria bisa mendadak muram durja bila detik-detik BAK datang. Ia akan menahan sekuat tenaga, dan hanya akan pipis bila sudah terpaksa. Bila kami bertanya, “Nolan mau pee?” maka parasnya menjadi tegang dan berkata “Tidak mau!”. Ketika kami tanya lagi, “Nolan mau pee tapi takut ya?” rautnya langsung sedih dan menjawab “Iya, aku takut, aku ngga suka pipi, aku ngga suka disiram peni-nya, ngga suka dilap.” Sekadar info, setiap habis pipis, dokter menyuruh kami menyiram bekas sunatnya dengan air Aqua (untung bukan Evian) lalu mengelapnya dengan kasa steril. 

Karena kami tahu menahan BAK bisa menyebabkan sakit di kemih, maka mau tak mau Nolanpun kami giring paksa ke WC. Bukan dengan mudah tentunya, namun dengan rontaan dan pemberontakan. Tak jarang ia keburu ngompol di celana, karena sudah tak tahan. Berbagai bujukan, rayuan dan iming-iming kami tawarkan agar ia berani pipis, namun semuanya ditepis. Rasa takutnya mengalahkan segalanya. Dan adegan ini harus berlangsung minimal 3-4 kali sehari, selama seminggu lebih. 

Kami habis akal. Yang dapat kami lakukan hanya berdoa, memohon pada Tuhan agar Ia membuat Nolan pipis segera dan pulih secepatnya. Adakalanya Tuhan langsung menjawab, terkadang Tuhan meminta kami bersabar. Pernah suatu kali, kami menunggu sampai 1 jam lebih di dalam kamar mandi, hanya demi menantikan ‘air mancur kecil’ itu. Fiuuh…akhirnya keluar juga, sesuatu banget rasanya. 

Luka khitan yang mulai mengering, tak serta-merta membuat pipisnya jadi sering. Bayang-bayang perih saat BAK masih menghantui, sehingga Nolan masih menahan-nahan urine-nya. Kami bingung, bagaimana ini? Apakah ini yang namanya trauma? Bagaimana agar Nolan bisa ke toilet dengan sukarela? Lagi-lagi kami pasrah, hanya bisa berdoa. 

Sampai suatu ketika, “Nolan mau pipis? tanyaku. “I want to pee!” jawab Nolan seraya mengangkat tangan dan menggoyangkan kakinya pertanda sudah sangat kebelet. Iapun kugandeng memasuki pintu toilet, kupelorotkan celananya, lalu tak lama pipisnya pun keluar….tanpa tangis!! Yang lebih melegakan lagi, ia berkata, “Abis ini aku di-lapnya ngga mau nangis, karena aku udah jagoan,” ujarnya dengan penuh kebanggaan. Thanks God, He answered our prayer! Nolan kini sudah tak takut lagi.  

Beberapa pelajaran berharga kami petik dari kisah ini. Pertama, bila mau menyunatkan anak Anda, sebaiknya pilihlah usia yang tepat. Waktu masih baby saat ia belum mengerti dan belum banyak gerak, atau menunggu SD ketika sang anak sudah bisa mengerti sepenuhnya.

Pelajaran kedua, tentang rasa takut. Everybody has their own fear. It’s human. Terkadang kita perlu merasa takut agar kita lebih sungguh-sungguh berdoa. Ketakutan seringkali membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Ketakutan membuat kita gelisah, sehingga kita berjuang keras melawan ketakutan tersebut. Sebab hanya dengan melewati lorong ketakutan, seseorang bisa keluar sebagai pemberani. Sebuah kalimat di buku cerita Nolan: “Berani bukan berarti tidak takut. Berani berarti walaupun kamu takut, kamu tetap melakukannya.” Apa yang sedang kautakutkan, Teman?

A Mistery

“Ibukota lebih kejam dari ibu tiri,” begitu kata sebagian orang. “Jakarta keras Bung”, itu juga kata orang. Apa yang membuatnya kejam dan keras? Setidaknya ada dua hal, yaitu sukarnya mencari nafkah dan sengitnya persaingan yang ada. Lihat saja bagaimana perjuangan abang G*-Jek yang harus bergerah-gerah ria demi membeli makanan di daerah Jaksel, lalu mengantarkan ke kliennya di wilayah Jakpus. Tak kalah heroik, saksikan juga bagaimana aksi uber-uberan para sopir taksi gelap dan ‘taksi terang’ yang berlomba-lomba menggaet penumpang di jalanan. Tak cuma tukang ojek dan taxi driver yang harus bekerja ekstra, kami pun para pekerja berkemeja acapkali harus pulang senja agar monthly report tepat waktu ada di meja [curhatcolongan].

Hari itu tanggal delapan; tanggal dimana gaji mulai susut perlahan, sekaligus tanggal pulang malam dikumandangkan. Seperti bulan-bulan sebelumnya, saat jam kerja normal usai (dan jam kerja bakti dimulai), aku dan dua orang teman - sebut saja yang wanita Si Ramping dan yang pria Si Gembul - masih bertahan di depan layar laptop yang bejibun angka. Petang kian matang, jarum pendek kini sudah ‘menuduh’ angka enam; Si Gembul terpaksa pamit duluan karena harus kuliah untuk menambah satu gelar lagi di belakang namanya.

Kini tinggal kami berdua, aku dan Si Wanita Ramping. Seiring malam yang larut, wajah suntuk kami kian carut-marut. Namun sedihnya, kami belum bisa pulang, karena masih banyak kerjaan. Di tengah keheningan, sesuatu yang aneh terjadi! Mendadak kami mencium wangi bunga yang sangat menyengat, beberapa detik saja, lalu berlalu tanpa jejak. Seolah ada gadis cantik yang baru selesai mandi kembang, berjalan persis di depan hidung kami! Namun sayangnya, kami tidak melihat siapapun, karena memang tidak ada siapapun di ruangan itu, selain kami berdua yang sudah kucel dan bau asem. “Oo.. jangan-jangan tadi itu…..??!!?!!” Akhirnya, meski laporan belum kelar, kami putuskan menyudahi lembur malam ini, sebelum yang wangi-wangi tadi kembali dan menampakkan diri. “Bye, CU tomorrow!”

Keesokan harinya. Akibat tugas yang belum tuntas, lagi-lagi kami harus menjadi penghuni terakhir di ruangan. Syukurlah hari ini bertiga, lebih rame, karena Si Gembul tidak kuliah malam ini. Di sela-sela serius bekerja, akupun menceritakan kejadian semalam pada Si Gembul, “Do you know what, Bro…. yesterday night….and so on, and so on…, creepy deh pokoke.” Dan tiba-tiba, semilir wangi bunga serupa kembali semerbak, kental sekali di indera pernapasan kami! Kali ini harumnya tercium lebih lama, seolah si sumber wangi diam sejenak menguping obrolan kami, baru kemudian beranjak pergi. Hiiii…

Si Gembul pun kian penasaran, maklum ia adalah seorang mahasiswa S2 yang kaya dengan logika. Karena tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa di dalam ruangan, maka iapun mencari sumber wangi itu di luar ruangan. Pikirnya, “Barangkali aja di luar ada ibu-ibu yang pake parfumnya lebay supaya ngga bau ketek waktu desek-desekan di busway.” Namun upaya pencarian Si Gembul sia-sia, ia tak menjumpai siapa-siapa di luar sana. Kami bertiga hanya saling bertatap, berbicara dengan mata, tanpa kata-kata, sambil memendam gundah yang sama. “Guys, 5 menit lagi kita pulang aja yuks,” ajakku dan semua pun setuju.

Hari ketiga. Tak tahan menyimpan misteri ini sendiri, kuberanikan diri untuk curhat ke beberapa teman lain yang tak ada pada saat kejadian. Tujuanku hanya agar mereka waspada, bukan menimbulkan rasa was-was di dalam dada, apalagi menakut-nakuti mereka. Jadi begini ceritanya, ”Malem-malem, ada wangi-wangi, kayak ada yang lewat, tapi ngga ada siapa-siapa, horor ngga sih?!? ” Tiba-tiba seorang teman nyeletuk, “Yaa…elah elo…itu mah wangi pengharum ruangan di pojok sono noh, emang di-setting otomatis nyembur tiap jam 7 malem.” Jawaban singkatnya seolah meng-cut kisah misteriku dan membuatku tertawa dalam hati, geli terhadap diri sendiri. “Oh…ternyata itu toh, hehehe...”

Kisah di atas nyata, ngeselin, lucu, sekaligus menampar. Ternyata, kita orang-orang di dunia maju masih sangat mudah terbawa ke “dunia lain”. Kita yang ngakunya religius, masih suka hal-hal yang misterius. Kami, para analis yang seharusnya berpikir sistematis ternyata malah sistemistis. Sebagai manusia ber-Tuhan, bukankah kita sering berdoa minta penyertaan-Nya agar Ia menyertai kita sepanjang hari? Tapi mengapa kalau kita sedang sendirian, di lift, di toilet atau di tempat sepi, kita lebih mudah merasakan kehadiran hantu ketimbang kehadiran Tuhan? Mulai hari ini, yuks kita benarkan pola pikir kita! Ingatlah, walau kita sedang sendiri, sebenarnya kita tak pernah benar-benar sendirian, karena Tuhan selalu beserta kita! Amin.

Saturday, August 29, 2015

Belajar dari Tukang Rujak




“Rujak Padang.. .rujak jao, makanlah duo… nun di Kota Padang,”  kira-kira begitulah lantunan seorang bapak berlogat Sumbar tatkala lewat di depan rumah kami. Seraya mendorong gerobaknya menyusuri malam, bapak berkopiah hitam itu menjajakan sesuatu yang tak lazim disantap saat hari gelap: rujak. Mendengar suara tenornya, saya seolah ‘terpental’ ke tahun 1993 silam, tahun di mana saya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kelapa Gading; karena di ‘tahun ayam’ itulah, nyanyian itu perdana sampai ke telinga.
Hmm… sekarang tahun 2015, berarti sudah berapa tahun ya? Buset dah! Apakah benar ini Bapak yang sama? Ternyata benar, dan ia konsisten tidak berubah. Setia…masih seperti yang dulu. Akhirnya, demi bernostalgia dan didorong sedikit rasa iba, saya pun menyetop gerobak rujak Si Bapak (yang sebenarnya lebih pantas dipanggil opa). “Pak, rujak padang satu ya, jangan pake cabe ya, Pak.”
Ia pun mulai mengeluarkan ulek dan cobek keramatnya, mengupas ubi merah, nenas masam, mangga mengkel, belimbing kematengan dan beberapa buah peyot lainnya. Salah satu ciri khas rujak ini adalah bumbunya dicampur dengan pisang batu, yang ditumbuk menjadi satu. Last but not least, ia merogoh beberapa keping kerupuk oranye dari kaleng Khong Guan, sebagai topping dari signature dish-nya.
Diam-diam, saya asyik mengamati tiap detil gerobaknya. Wow….ini adalah armada kayu yang percis dengan 22 tahun lampau! Gerobak roda dua berkelir hijau, yang di kacanya bertuliskan lirik tembang “Rujak Padang” hafalannya. Lampu penerangannya pun belum LED (light-emitting diode), masih petromak minyak; sebuah pelita kuno yang sudah ditemukan sebelum Thomas Alfa Edison lahir. Segala sesuatu di depan mata saya adalah benda-benda yang pernah saya lihat saat masih bercelana pendek merah. Amazing, serasa back to the past!
Overall, hanya dua hal yang berubah: harga rujak yang jauh melonjak (now IDR 20.000 / pax), dan umur Si Uda yang tak lagi muda.
Ketika tengah menikmati buah yang diiris-iris, hati ini merasa miris. Saya sedih bila mengingat bapak penjual rujak; yang meski sudah renta, namun harus mendorong gerobak usangnya keluyuran dari gang ke gang, bernyanyi sepanjang malam. Dan tanpa terasa, ia sudah melakoninya selama tiga dasawarsa, begitu pengakuannya.
Melalui kisah ini, saya kembali disadarkan betapa cepat dan singkatnya waktu. Tanpa perlu diburu-buru, waktu akan berlari dengan sendirinya serta menyeret kita turut dalam pelariannya. Jangan sekali-kali menganggap kito ‘rang ‘kan masih muda, jadi boleh dong leha-leha. Sebab bila kita terus terlena, bisa-bisa kita kena getahnya. Ingat, tahun demi tahun akan berganti, tanpa ada yang sanggup membuatnya berhenti. Usia bukan untuk disia-siakan.
Hanya orang malas yang membiarkan waktunya bablas begitu saja. Ia ibarat anak kecil dalam lagu: “Bangun tidur ‘ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi….bantal guling bau pesing,” yang kelihatannya sedang bersiap-siap, namun sesungguhnya tak pernah berangkat ke sekolah. Hanya ke toilet sebentar, lalu kembali menghabiskan waktu di kamar. Ia tidak ke mana-mana, mirip seperti hamster yang hanya muter-muter di treadmill bundarnya.
Sebagian dari kita mungkin punya banyak waktu, sebagian lagi merasa tak ada waktu; namun yang pasti, tak seorangpun dari kita sebenarnya tahu, berapa lama lagi waktu yang kita punya. Jadi, pastikanlah setiap detiknya tidak terbuang dengan percuma. Mintalah hikmat kepada Tuhan, yang menganugerahkan waktu kepada kita, agar berapapun waktu yang kita habiskan di dunia, berguna dan bermakna di mata-Nya.

Tuesday, June 23, 2015

Dengar

Entah kenapa, entah ada apa, belakangan ini duniaku terasa sepi dan sunyi. Kicau burung di pagi terdengar senyap sekali, derik jangkrik di senja nyaris tak terdengar lagi. Tawa bocahku yang hingar-bingar, kini hanya terdengar samar; sapaan manja istri tersayang, juga terdengar semakin pelan. Apa yang salah dengan diriku? Mengapa mereka semua terasa jauh?

Kuputuskan untuk menyendiri, mencoba introspeksi diri. Ah, syukurlah! Semua baik-baik saja. Tiada yang perlu disalahkan, apalagi ‘tuk disesali. Yang salah hanyalah telinga kiri, yang kehilangan fungsinya untuk menangkap suara dan bunyi. Singkat kata, budek sebelah. Itulah sebabnya daya dengarku menurun, sehingga yang dekat seolah ada di balik sekat.

Jujur aku akui, lama sudah ‘ku tak korek kuping. Sejak kudengar bahwa cotton bud bisa membuat telinga tersumbat, ‘tusuk gigi berujung kapas’ itu tak pernah lagi mengilik-ngilik daun telingaku. Sebagai penggantinya, kusobek selembar tissue, membalutkannya di sekeliling kelingking, lalu memutar-mutar jari mungilku ke dalam lubang telinga yang basah seusai mandi pagi dan sore. Dry and clean, seperti habis di-laundry.

Berhari-hari kunanti pendengaranku kembali, namun itu hanya membuatku patah hati. Telinga kiri tetap asyik sendiri, tak pedulikan suara di sekelilingnya. Khawatir ada yang serius, akupun segera mendaftarkan diri jadi pasiennya dokter THT. Singkat cerita, tibalah aku di ruang inspeksi. “Hmm…kotor,” gumam Sang Dokter sembari menyenter dan menggali-gali lorong telingaku. “Hmm…keras,” lanjutnya. Ternyata ‘harta karunnya’ sudah lama membatu sehingga mustahil dievakuasi saat itu juga. Di akhir pemeriksaan, dokter tua itu memberiku resep berupa dua botol mini cairan peluruh ‘fosil telinga’ dan se-strip antibiotik untuk ditelan habis selama pengobatan berjalan. Tak kusangka, hanya karena masalah korek-mengorek, delapan ratus ribu harus keluar dari kocek [thanks God dibayarin kantor].

Budek bisa bikin aktivitas jadi mandek. Dengar musik jadi ngga berasa soul-nya, nonton film jadi ngga ngerti jalan ceritanya. Itulah sebabnya kita rela bayar mahal agar pendengaran kita bisa kembali normal; supaya semua yang merdu dan seru bisa kembali menderu. Namun ironisnya, saat indra pendengar kita baik-baik saja, kita sering menutup telinga terhadap kebutuhan sesama. Kita seringkali menolak ketika anak, ortu, atau sahabat ngajak curhat. “Sorry banget nih, aku lagi repot, saya lagi meeting, lain waktu saja gimana,” menjadi alasan klise kita.

Tak jarang aku melihat pemandangan ini: orang pacaran bukan dengerin cerita pacarnya, tapi malah sibuk main Faceb**k. Pasang kuping untuk dengerin balasan PING! dan menanti dentang-denting yang ngga penting. Hati-hati lho, jangan cuma gara-gara ngupload Inst*gram, pacarmu jadi geram.

Mata punya kelopak, mulut punya bibir, namun telinga tak memiliki pintu. Tuhan sengaja ciptakan telinga yang tak ditutup, agar kita bisa saling mendengarkan satu sama lain. Mendengar dengan telinga, bukan semata-mata diam sambil menganga. Mendengar dengan telinga juga bukan menguping. Mendengar dengan telinga, berarti mau memberi diri sepenuhnya untuk turut merasakan apa yang orang lain alami dalam hidupnya; mungkin itu tragedi, komedi atau drama romantika yang sedang ia hadapi. Yuk, mulai luangkan waktu untuk mendengar kisah orang-orang di sekitar kita!

Suara siapa yang sudah lama tak kau dengar?

Saturday, May 23, 2015

Love the Whore (based on Hosea 3)


(sebuah pesan dari Tuhan yang penuh kasih...
...untuk umat-Nya yang tidak setia)

Mencintaimu setengah mati, namun dikhianati;
mengasihimu segenap jiwa, ternyata kau mendua.
Menantikanmu sepenuh hati, hanya menyiksa diri;
mengharapkanmu kembali, ibarat rindu abadi.

Secepat apapun kau coba lari, sejauh apapun kau menghindar;
Aku ‘kan tetap mencari, Aku ‘kan terus mengejar.
Berkali-kali kau menjual diri, diobral dan dinodai;
namun dengan mahalnya, kau pasti Kutebus kembali.

Sekarang, duduklah diam di sini!
Pasung dirimu, dan renungkan s’gala pelanggaranmu!!
Cobalah kecap, coba kau cicipi,
rasakan betapa sakitnya hati-Ku ini!

Cintaku memang setinggi langit,
kasihku memang sedalam lautan;
namun sehebat itu pula kebencian-Ku,
pada dosa-dosa buah tanganmu.

Kembalilah pada-Ku Sayang, jangan kecewakan-Ku lagi.
Duduklah manis di pelukan-Ku, jangan sia-siakan.
Berhentilah mendua hati, ceraikanlah dosa yang kaucintai;
karena itu semua, memakukan luka yang dalam, di nadi-Ku ini.

Mari, kita tempuh hidup yang baru.