Pacarnya : Kamu kamu...manja betul deh, masak tinggal garuk aja mesti aku juga sih...??
Cowok : Please...(dengan muka memelas seraya menunjukkan ujung-ujung jemarinya)
Pacarnya : Oiya, aku lupa kamu ngga punya kuku ya :)
A man without nails. Sejak bocah hingga usia ngebet nikah, julukan itu terus saja membuntutiku. Padahal faktanya aku punya kuku kok! Hanya saja dimensinya yang cute dan ciut - berbeda dengan kuku-kuku kebanyakan - membuatnya kehilangan fungsi dasar sebuah kuku. Mengapa sampai bisa begitu?
Entah siapa yang mengajari, sedari balita, aku doyan sekali melahap bagian ujung jari yang biasa dipakai orang untuk mengupil ini. Beberapa orang suka menyindir dengan bertanya “Emang enak ya, io?” Hmm... biasanya sih berasa tawar, tapi bisa juga beraneka rasa; tergantung pada benda apa yang terakhir kontak fisik dengannya. Akan terasa manis bila ada sisa-sisa S*lver Qu**n yang tersemat di sana; dan akan terasa asin bila baru saja selesai digunakan untuk mengeksplorasi indera pernapasan kita, berasa banget gurih karamelnya;p. Hihihi....
Seiring bertambahnya digit usia, banyak hal berganti dan berubah. Polo shirt slim fit menggantikan oblong yang gombrong, rambut gondrong berbelah simetris jadi lebih kelimis, perut nan rata mulai di atas rata-rata. Satu hal yang belum berubah adalah hobi menyantap kuku-kuku renyah. Nyaris tiada hari tanpa serpihan kuku yang jatuh ke tanah. Awalnya tak terbersit niat untuk menggerogotinya, namun di luar kesadaran, kerap jari yang satu bergerak sendiri mengadudombakan kukunya dengan kuku di ujung jari lainnya. Ketika sudah ada yang kalah dan terbelah (bahkan kadang berdarah), barulah diri ini menyadarinya. Sayangnya, ketika itu terlambat sudah. Kuku yang gugur terpaksa harus di-manicure; dan bila tak ada alat yang yang memadai, maka gigi serilah yang mengeksekusinya. Itulah sebabnya mengapa panjang kuku-kukuku tak pernah melampaui ujung jarinya, wong ngepas di ujung saja belum pernah;p .
Berjuta komentar, kritik dan saran dilontarkan kepadaku perihal kebiasaan 'unik' ini. Salah satu yang masih hangat kuingat hingga detik ini adalah komentar dari sang bunda, katanya "Ih, lu ngga malu ya, udah gede masih gigitin kuku. Ntar klo udah kerja, di kantor gigitin kuku, diketawaain orang-orang lu: Lihat tuh, Pak Mario lagi asik gigitin kuku, hehehe..." Kadang bosan menghadapi komentar seperti itu, namun terlebih bosan lagi menghadapi kenyataan berulang kali gagal dalam 'puasa' mengonsumsi 'cemilan' yang notabene tidak higienis itu. Satu-satunya kemenangan 'puasa' terjadi ketika aku diopname kelas 3 SD. Kala itu aku berhasil untuk tidak menjamah kuku-kuku tersebut selama beberapa hari karena tangan kiriku terborgol oleh selang infusan.
Kebiasaan mendarah daging ini terus berlanjut. Ketika sedang membaca, melamun, atau menonton TV, para jemariku diam-diam menyabung kuku-kukunya. Peringatan dan teguran dari orang-orang terkasih tak hentinya merema di telinga, namun aku cuek saja. "Lagi tanggung nih, dikiiiit lagi...", begitulah biasanya responku. "I know very well about my nails, and I know what is the best for them." Toh, gw ngga mengganggu dan merugikan siapa-siapa kan? Kan? Kan?
Pada suatu hari, saat aku sedang mencoba fokus di kelas mendengarkan kuliah finance di kampus tempat kursusku, tiba-tiba terdengar bunyi yang tak asing di kuping. Tek..tek..tek... "Suara apaan ya? Pelan, tapi ganggu banget tau ngga sih? Tek...tek...tek... Kulongok teman sebelahku, nah! Ternyata dialah penghasil noise tersebut. Kedua tangannya sedang berada di kolong meja. Ngapain? Rupanya dia tengah menduelkan kuku-kuku di jemarinya, sehingga terjadilah benturan di antara mereka dan menciptakan bunyi yang cukup annoying. Mau kutegur dia karena telah membuyarkan konsentrasiku, tapi kuurungkan niatku. Karena yang dia lakukan tak ubahnya dengan hal yang selama ini aku lakukan. Oh malunya hati ini, cuma bisa mesem-mesem sendiri sambil 'gigit jari'. He is also a man wihout nails.
Grrrr....kita pasti grrrr...regetan bila melihat sikap orang lain yang mengganggu? But waiit...sebelum sebel kita kian tebel, ada baiknya kita ngaca dulu. Sebab acapkali "sepasang balok besar tak nampak di pelupuk mata, namun selumbar di mata orang terlihat." Di kala bercermin, coba perhatikan: jangan-jangan 'wajah' kita mirip dengan orang yang tidak kita sukai itu? Atau awalnya 'tampang' kita memang jauh berbeda, namun lambat laun kok layaknya saudara kembar ya? Ini bisa saja terjadi bila di hati kita terlampau banyak mengoleksi benih-benih kekesalan pada orang yang bikin gregetan itu. Alhasil, buah yang kita hasilkan menyerupai buahnya.
Dari kisah kuku yang ngga penting ini, setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita petik. Pertama, terimalah segala kritik dan saran dari orang lain dengan telinga yang dewasa dan hati yang terbuka; karena hal itu baik bagi pertumbuhan kita. Kedua, buanglah jauh-jauh benih kekesalan (kegeraman, kepahitan, dkk) terhadap seseorang bila kita tidak ingin tumbuh menjadi saudara kembarnya. Sebaliknya, maafkan dan tegurlah dia dengan kasih, sehingga kita dapat membawanya kembali ke jalan yang benar. Finally, yang ketiga, janganlah tergesa-gesa dalam menghakimi seseorang, melainkan perbanyaklah waktu bercermin diri. Saat kita bercermin, tanyakan dalam hati, "Apakah dalam cermin ini kita masih bisa melihat blue print-nya TUHAN, Allah Sang Pencipta kita?"
Writer's note:
Berbicara itu mudah, ibarat selembar latihan pilihan ganda di dalam kelas.
Menulis itu agak sulit, layaknya pekerjaan rumah menyarikan satu bab mata kuliah.
Melakukan apa yang dibicarakan dan yang dituliskan itu sangatlah sukar, bak ujian essay harian dengan materi satu perpustakaan yang menentukan kelulusan. That's integrity!