Thursday, October 14, 2010

A Man Without Nails

Cowok : Babe, tolong garukin dong...

Pacarnya : Kamu kamu...manja betul deh, masak tinggal garuk aja mesti aku juga sih...??

Cowok : Please...(dengan muka memelas seraya menunjukkan ujung-ujung jemarinya)

Pacarnya : Oiya, aku lupa kamu ngga punya kuku ya :)


A man without nails. Sejak bocah hingga usia ngebet nikah, julukan itu terus saja membuntutiku. Padahal faktanya aku punya kuku kok! Hanya saja dimensinya yang cute dan ciut - berbeda dengan kuku-kuku kebanyakan - membuatnya kehilangan fungsi dasar sebuah kuku. Mengapa sampai bisa begitu?

Entah siapa yang mengajari, sedari balita, aku doyan sekali melahap bagian ujung jari yang biasa dipakai orang untuk mengupil ini. Beberapa orang suka menyindir dengan bertanya “Emang enak ya, io?” Hmm... biasanya sih berasa tawar, tapi bisa juga beraneka rasa; tergantung pada benda apa yang terakhir kontak fisik dengannya. Akan terasa manis bila ada sisa-sisa S*lver Qu**n yang tersemat di sana; dan akan terasa asin bila baru saja selesai digunakan untuk mengeksplorasi indera pernapasan kita, berasa banget gurih karamelnya;p. Hihihi....

Seiring bertambahnya digit usia, banyak hal berganti dan berubah. Polo shirt slim fit menggantikan oblong yang gombrong, rambut gondrong berbelah simetris jadi lebih kelimis, perut nan rata mulai di atas rata-rata. Satu hal yang belum berubah adalah hobi menyantap kuku-kuku renyah. Nyaris tiada hari tanpa serpihan kuku yang jatuh ke tanah. Awalnya tak terbersit niat untuk menggerogotinya, namun di luar kesadaran, kerap jari yang satu bergerak sendiri mengadudombakan kukunya dengan kuku di ujung jari lainnya. Ketika sudah ada yang kalah dan terbelah (bahkan kadang berdarah), barulah diri ini menyadarinya. Sayangnya, ketika itu terlambat sudah. Kuku yang gugur terpaksa harus di-manicure; dan bila tak ada alat yang yang memadai, maka gigi serilah yang mengeksekusinya. Itulah sebabnya mengapa panjang kuku-kukuku tak pernah melampaui ujung jarinya, wong ngepas di ujung saja belum pernah;p .

Berjuta komentar, kritik dan saran dilontarkan kepadaku perihal kebiasaan 'unik' ini. Salah satu yang masih hangat kuingat hingga detik ini adalah komentar dari sang bunda, katanya "Ih, lu ngga malu ya, udah gede masih gigitin kuku. Ntar klo udah kerja, di kantor gigitin kuku, diketawaain orang-orang lu: Lihat tuh, Pak Mario lagi asik gigitin kuku, hehehe..." Kadang bosan menghadapi komentar seperti itu, namun terlebih bosan lagi menghadapi kenyataan berulang kali gagal dalam 'puasa' mengonsumsi 'cemilan' yang notabene tidak higienis itu. Satu-satunya kemenangan 'puasa' terjadi ketika aku diopname kelas 3 SD. Kala itu aku berhasil untuk tidak menjamah kuku-kuku tersebut selama beberapa hari karena tangan kiriku terborgol oleh selang infusan.

Kebiasaan mendarah daging ini terus berlanjut. Ketika sedang membaca, melamun, atau menonton TV, para jemariku diam-diam menyabung kuku-kukunya. Peringatan dan teguran dari orang-orang terkasih tak hentinya merema di telinga, namun aku cuek saja. "Lagi tanggung nih, dikiiiit lagi...", begitulah biasanya responku. "I know very well about my nails, and I know what is the best for them." Toh, gw ngga mengganggu dan merugikan siapa-siapa kan? Kan? Kan?

Pada suatu hari, saat aku sedang mencoba fokus di kelas mendengarkan kuliah finance di kampus tempat kursusku, tiba-tiba terdengar bunyi yang tak asing di kuping. Tek..tek..tek... "Suara apaan ya? Pelan, tapi ganggu banget tau ngga sih? Tek...tek...tek... Kulongok teman sebelahku, nah! Ternyata dialah penghasil noise tersebut. Kedua tangannya sedang berada di kolong meja. Ngapain? Rupanya dia tengah menduelkan kuku-kuku di jemarinya, sehingga terjadilah benturan di antara mereka dan menciptakan bunyi yang cukup annoying. Mau kutegur dia karena telah membuyarkan konsentrasiku, tapi kuurungkan niatku. Karena yang dia lakukan tak ubahnya dengan hal yang selama ini aku lakukan. Oh malunya hati ini, cuma bisa mesem-mesem sendiri sambil 'gigit jari'. He is also a man wihout nails.

Grrrr....kita pasti grrrr...regetan bila melihat sikap orang lain yang mengganggu? But waiit...sebelum sebel kita kian tebel, ada baiknya kita ngaca dulu. Sebab acapkali "sepasang balok besar tak nampak di pelupuk mata, namun selumbar di mata orang terlihat." Di kala bercermin, coba perhatikan: jangan-jangan 'wajah' kita mirip dengan orang yang tidak kita sukai itu? Atau awalnya 'tampang' kita memang jauh berbeda, namun lambat laun kok layaknya saudara kembar ya? Ini bisa saja terjadi bila di hati kita terlampau banyak mengoleksi benih-benih kekesalan pada orang yang bikin gregetan itu. Alhasil, buah yang kita hasilkan menyerupai buahnya.

Dari kisah kuku yang ngga penting ini, setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita petik. Pertama, terimalah segala kritik dan saran dari orang lain dengan telinga yang dewasa dan hati yang terbuka; karena hal itu baik bagi pertumbuhan kita. Kedua, buanglah jauh-jauh benih kekesalan (kegeraman, kepahitan, dkk) terhadap seseorang bila kita tidak ingin tumbuh menjadi saudara kembarnya. Sebaliknya, maafkan dan tegurlah dia dengan kasih, sehingga kita dapat membawanya kembali ke jalan yang benar. Finally, yang ketiga, janganlah tergesa-gesa dalam menghakimi seseorang, melainkan perbanyaklah waktu bercermin diri. Saat kita bercermin, tanyakan dalam hati, "Apakah dalam cermin ini kita masih bisa melihat blue print-nya TUHAN, Allah Sang Pencipta kita?"

Writer's note:

Berbicara itu mudah, ibarat selembar latihan pilihan ganda di dalam kelas.

Menulis itu agak sulit, layaknya pekerjaan rumah menyarikan satu bab mata kuliah.

Melakukan apa yang dibicarakan dan yang dituliskan itu sangatlah sukar, bak ujian essay harian dengan materi satu perpustakaan yang menentukan kelulusan. That's integrity!


Payung Kertas Koran



(sebuah kisah tua yang ditulis masa SMA, yang berpesan: "makanya jangan sok tahu...")


Hari itu, matahari sedang obral besar-besaran. Panasnya diumbar habis sampai-sampai
cool case (baca: kulkas) ku turut kegerahan. Saking teriknya, siang itu pun menjadi bolong. Layaknya anak yang baik, aku duduk manis melipat tangan di kamarku yang sumpek. Bosan!! Ingin main diluar, tapi tak beroleh izin…

Bu, aku main sepeda ya?” kataku.

Sahut ibuku, “Jangan Nak, nanti kau hitam, terus mimisan!“

Lalu ku bilang, “Tenang Bu, aku bawa payung kertas koran kok!“

Jangan Nak, payung itu takkan sanggup melindungimu!“ kata ibuku.

Dan aku pun membalas, “Don’t worry Bu, payung itu buatanku, jadi pastilah ia sekuat aku!“

Ibuku tetap saja melarang, “Jangan, lagipula ibu dengar nanti akan turun hujan lho!”

Lalu kutanggapi dengan sombong, “Jangankan hujan Bu, dengan payungku ini badai dan ombak sekalipun akan kuterjang tiada takut! Bukankah nenek moyangku seorang pelaut…??“

Ibuku tetap bersikeras, “Jangan Nak…!“

Akhirnya meski tanpa restu ibunda, aku nekat pergi juga, “Daa Ibu…!!“

Diatas sepedaku, kulompati pagar berkawat…& mulai mengayuh. Wah, siang ini benar-benar ‘hot’ rupanya. Ubun-ubunku mulai hangat, kulit kepala mulai berkeringat. Tapi tenang, aku bawa payung…payung kertas koran!!

Penuh percaya diri, kuberaksi dengan payungku, jebret…!! Lumayan, walau nampak seperti ‘Sarimin pergi ke pasar’ setidaknya ketombeku takkan menghangus. Tak lama kemudian, langit nampak muram…lalu, tes..tes..tes.. berdatangan bayi-bayi air dan mulai merangkak-rangkak diatas payung koranku, mereka menamakan diri mereka: gerimis. Bagiku mereka bukan masalah, paling-paling mereka hanya melunturkan tinta-tinta tulisan yang tertera pada kertas koranku. No problema..!

Sambil bersiul ku menggoes pedal, nikmati rintik gerimis mengglitik. Namun tiba-tiba, ada yang menyambar atap koranku! Aku pun berteriak : “Copet, maling, jambret!“. Lho, kok tak ada siapa-siapa ya? Ternyata adalah segelintir petir yang bertanggungjawab atas bumihangusnya atap payung kertas koranku. Kini yang kugenggam tinggallah gagang, yang nampak garing karna terpanggang.

Hujan badai kian menggila. Bayi-bayi gerimis telah menjelma tumbuh dewasa. Mereka mengguyur, menertawakan, serta mengajak angin ribut mencemooh keadaanku. Sekarang aku kedinginan, malu, lapar, serta terserang flu.. haacii..haaacuii...!! Akhirnya dengan kepala tertunduk dan muka kuyu, aku pulang ke pelukan ibu. “Bu, tolong kerokin aku ya.”

Kapok? Ya, itulah akibatnya kalau kita keras kepala. Seringkali kita terlampau sombong & ‘ogah’ mendengarkan nasehat dari orang lain. Nasehat baik mereka kita tolak mentah-mentah dan justru kita hanya mengandalkan kemampuan kita sendiri yang sebenarnya hanyalah sebuah ‘payung kertas koran’. Kita malah merasa ‘sok kuat’, padahal nyatanya tidaklah demikian. Ingatlah, kita ini makhluk yang terbatas dan kaya akan kelemahan. Jadi, janganlah ‘sok berjalan sendirian’. Bersandarlah pada Tuhan, patuhlah pada orang tua, dan jangan abaikan nasehat orang lain; setuju?”


Sayembara di Surga


Suatu ketika Surga menggelar sayembara, gemanya menggemparkan nusantara. “Urgently required!” seru Mikael (malaikat berkebangsaan Inggris). Dicari: seorang laskar dan seorang pejuang yang akan ditempatkan di bawah pimpinan Kristus, Sang Anak Allah. WooW! Sungguh suatu kebanggaan dan kehormatan yang tak tertandingi bila dapat terpilih! Tak heran, kompak serempak seluruh warga nusantara berdesakan mendaftar, rapih berbaris dalam waiting list. Tibalah giliran pertama.

Muncullah seorang pendekar. Dengan percaya diri yang berkelimpahan ia berkata: “Dengan jurus-jurus yang telah kuhafalkan dan kulatih dari masa ke masa, aku yakin seyakin-yakinnya, pastilah aku yang paling cucok untuk menjadi laskar Kristus!”. Namun dengan lirih Mikael berkata: “Tue pu chi Mr. Lee, bukan Anda yang kami cari. Say sayonara to this sayembara, sampai jumpa lagi.”. Next!

Majulah seorang milyarder, yang kalo ngitung duit keder (saking banyaknya). Katanya seraya mengipas-ngipas gepokan gobanan: “Dengan harta yang kumiliki ini, rasanya akulah yang paling layak duduk di kursi pejuang di bawah pimpinan Kristus. Bahkan dengan uangku, aku bisa menjadi investor asing di tanah Surga ini!” Lalu sahut Mikael: “I'm really sorry Mr. Richie, tapi saya rasa uang Anda saja takkan cukup untuk biaya peremajaan Jl. Raya Surga Blok H1 yang beraspalkan emas ini. Bye-bye, please check your belongings and step carefully, thank you.” Next, next...

Lalu datanglah seorang belia menuntun seorang lansia (mungkin engkongnya). Anak belia ini berkata: “Aku tak punya apa-apa Pak Mikael, tapi aku pengen banget jadi laskarnya Tuhan. Kapan saja Tuhan butuh dan mau pakai aku, aku akan siap sedia.” Kemudian sang kakek menyambung: “Iya, saya juga Nak Mikael, saya orang ngga punya. Tapi sebagai rasa sukur saya sama Tuhan selama hidup saya, ijinkan saya jadi pejuangnya Tuhan. Saya akan mengabdi, saya akan setia.” Ehm...ehm... sambil terharu malaikat Mikael berkata: “Bapak-bapak, ibu-ibu yang saya kasihi di dalam Tuhan, saya rasa sayembara kali ini telah selesai. Silakan bapak ibu pulang dan mempersiapkan diri untuk sayembara berikutnya. Bubar jalan!” A...apa?? What?? Warga pun terus bertanya-tanya. How come Mr. Mikael??

Kemudian dengan penuh wibawa dan mulia, Kristus bangkit dari takhta-Nya dan berkata: “Tatkala aku mencari laskar, aku bukan cari yang kekar, atau yang sudah pakar. Ketika aku mencari pejuang, aku juga tidak mencari yang beruang. Yang kucari adalah hati. Tak peduli belia atau lansia, asalkan s'lalu sedia serta setia.”

Dimsum (hangat, penasaran dan all you can eat)

Kasih itu dimsum, ia selalu saja hangat
Masa bodoh di luar sedang musim dingin

Cinta itu dimsum, bikin penasaran
Apa sih yang ada di balik bilik tabung bambu itu?

Sayang itu dimsum, prinsipnya all you can eat
Walau sudah buncit, ia tak pernah kenyang, selalu ada dan ada lagi

Dahulu 'ku suka mantau, tapi tidak lagi sejak ada hakau
Dulu hatiku selalu merantau, namun tidak lagi sejak ada kau :)

Happy birthday My Hakau :)
Wish all ur prayers & wishes come true, Amin!

Glusdi

(dedicated to Nidya, on her 25th birthday, 12 May 2010)