“Andai saja semalam aku tak memaksa dan tergesa-gesa, pastilah aku takkan selelah ini.”
Malam itu, selepas office hour, aku bermain basket bersama teman-teman sepermainanku. Sengaja kusempatkan waktu, mengingat semenjak ‘tenggelam di asinnya’ dunia kerja, raga ini jarang diolah. Akibatnya, lingkar pinggang mulai mekar, garis-garis six pack pun kian samar. Bisa berabe nih!
Permainan berlangsung santai namun seru. Meski tak diwarnai aksi dan trik-trik memukau ala abas (baca: anak basket), yang penting kami bersenang-senang, pokoknya keringetan :)! Singkat cerita, jam sewa lapangan usai, permainan mau tak mau selesai. “Goceng Mar, goceng John, goceng...” salah seorang temanku ‘memalaki’ kami untuk saweran biaya sewa lapangan.
“Guys, makan yukz! Mau Kumis (nick name owner kedai ropita) atau Eko (nama abang nasgor)?” ajak Anest, salah seorang sohibku. Memang ‘cooling down’ yang paling tepat setelah berolahraga berat adalah makan berat. Maka tak heran bila efek badan kurusan sehabis berolahraga hanyalah fatamorgana. Tanpa pikir panjang, kuiyakan ajakan menggiurkan itu dengan senang hati. Semangkuk bubur ayam tante (tanpa telur) plus segelas teh tawar hangat, genap menjadi hidanganku malam itu. “Lumayan, murah meriah, cukup tiga lembar dua-ribuan baru saja. Perut kenyang, mari pulang!”
“Aah, akhirnya ku sampai juga di depan rumah. Fiiuuh... basket sungguh membuat badanku basah dan lengket!” Rasanya ingin sekali segera menyeka tubuhku dengan air hangat-hangat kuku. Ku-standard-kan sejenak sepeda motorku, lalu turun dan membuka pagar. Begitu pagar ternganga, aku langsung menunggangi motorku dan menerjang masuk menuju muka pintu utama. Kupepetkan roda depan ke daun pintu, sementara tangan kananku menggapai gagang pintu guna membukanya. “Ngek-ngok, kok ngga kebuka-kebuka ya? Padahal biasanya ngga dikunci kok? Yaa... (nama panggilan kakakku), bukain dong! Ngek-ngok, ngek-ngok...”
Tubuh yang penuh peluh, membuatku kesabaranku cepat luluh. Terus-menerus kugoyangkan gagang pintu dengan paksa, kian lama kian anarkis. Kakakku pun akhirnya datang, berniat membukakan pintu dari dalam. Lho, kok tetep ngga bisa juga ya? Ia pun memanggil bala bantuan, “Ma...!” Ayah bunda ku keluar dari kamar mereka, mencoba membukakan pintu bagi putra tercinta mereka :). Namun walau gagangnya terus digoyang, tetap tiada tanda-tanda akan meregang. Pintu jati yang sejatinya menjadi gerbang masuk istanaku, kini berubah menjadi benteng musuh yang tersegel rapat. Rupanya pegas di gagangnya telah rusak akibat kebrutalanku tadi.
Praktis, satu-satunya jalan masuk yang masuk akal adalah via jendela. Layaknya pencuri yang menggarongi kediamannya sendiri, kubobol teralis besi jendela kami demi dapat masuk ke rumah. Namun sebelum itu, aku harus menitipkan sepeda motorku di tempat tinggal saudaraku, karena tungganganku itu tak bisa masuk lewat jendela. Syukurlah jarak rumahku dengan rumah saudaraku hanya sekitar 700 meter saja. Setelah motor dititipkan, aku pun napak tilas menuju my home sweet home. Capek? Rasanya tak perlu kujawab. “Andai saja aku tak memaksa dan tergesa-gesa, pastilah aku takkan selelah ini. Hmmh... anggap saja olahraga ekstra,” hibur diriku dalam hati.
Dalam hidup, sadar atau tidak, terkadang kita memaksa untuk membuka “pintu-pintu” di depan kita, baik itu “pintu masalah”, “pintu permohonan”, “pintu percintaan” maupun “pintu-pintu” lainnya. Ketimbang mengetuk dan menanti dengan sabar pintu dibukakan, kita lebih suka membukanya sendiri, dengan cara, gaya dan kekuatan kita sendiri. Kita begitu tergesa-gesa ingin masuk untuk menemukan jalan keluar yang kita asumsikan pasti ada di balik pintu tersebut, saat itu juga.
Saat kita berdoa pada Tuhan, memohon Tuhan menyelesaikan suatu masalah, kita titipkan pesan sponsor: “Tuhan, minggu depan harus sudah beres ya.” Tatkala seminggu berlalu dan masalah belum juga lalu, kita mulai bertindak sendiri, ‘lupa’ bahwa kita telah menyerahkannya pada Tuhan. Saat kita memohonkan suatu berkat, namun Tuhan belum memberikannya, kita terus ‘menodong’ Tuhan untuk segera menurunkan berkat itu. Tak jarang, karena ketidaktaatan kita menanti berkat Tuhan, kita memaksakan diri mencarinya di tempat lain, meski notabene kita tahu bahwa hanya Tuhanlah Sang Sumber Berkat. Ketika kita meminta Tuhan memberi petunjuk tentang jodoh yang tepat dan sepadan buat kita, kita terlebih dahulu membawa seabrek kriteria kita, yang nyata-nyata kita tahu bertentangan dengan kriteria Tuhan. Alasannya klise, sudah kadung cinta.
Marilah kita sama-sama belajar untuk sabar dan tidak memaksa Tuhan ataupun memaksakan diri kita sendiri. Kita terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas. Bukankah lucu bila ‘yang terbatas’ memberikan syarat-syarat kepada Yang Tidak Terbatas? Kita tidak tahu tentang masa depan, namun Tuhan Maha Tahu. Bukankah gila bila ‘yang tidak tahu’ memaksakan kehendaknya kepada Yang Maha Tahu? Bila detik ini kita sedang berhadapan dengan sebuah “pintu”, berdoalah, ketuklah. Mohon Tuhan yang membukakannya. Bila memang itu adalah pintu yang terbaik, kata Tuhan: “Pasti Ku buka, tak perlu kau paksa.” Tuhan Yesus memberkati.