Tuesday, June 23, 2015

Dengar

Entah kenapa, entah ada apa, belakangan ini duniaku terasa sepi dan sunyi. Kicau burung di pagi terdengar senyap sekali, derik jangkrik di senja nyaris tak terdengar lagi. Tawa bocahku yang hingar-bingar, kini hanya terdengar samar; sapaan manja istri tersayang, juga terdengar semakin pelan. Apa yang salah dengan diriku? Mengapa mereka semua terasa jauh?

Kuputuskan untuk menyendiri, mencoba introspeksi diri. Ah, syukurlah! Semua baik-baik saja. Tiada yang perlu disalahkan, apalagi ‘tuk disesali. Yang salah hanyalah telinga kiri, yang kehilangan fungsinya untuk menangkap suara dan bunyi. Singkat kata, budek sebelah. Itulah sebabnya daya dengarku menurun, sehingga yang dekat seolah ada di balik sekat.

Jujur aku akui, lama sudah ‘ku tak korek kuping. Sejak kudengar bahwa cotton bud bisa membuat telinga tersumbat, ‘tusuk gigi berujung kapas’ itu tak pernah lagi mengilik-ngilik daun telingaku. Sebagai penggantinya, kusobek selembar tissue, membalutkannya di sekeliling kelingking, lalu memutar-mutar jari mungilku ke dalam lubang telinga yang basah seusai mandi pagi dan sore. Dry and clean, seperti habis di-laundry.

Berhari-hari kunanti pendengaranku kembali, namun itu hanya membuatku patah hati. Telinga kiri tetap asyik sendiri, tak pedulikan suara di sekelilingnya. Khawatir ada yang serius, akupun segera mendaftarkan diri jadi pasiennya dokter THT. Singkat cerita, tibalah aku di ruang inspeksi. “Hmm…kotor,” gumam Sang Dokter sembari menyenter dan menggali-gali lorong telingaku. “Hmm…keras,” lanjutnya. Ternyata ‘harta karunnya’ sudah lama membatu sehingga mustahil dievakuasi saat itu juga. Di akhir pemeriksaan, dokter tua itu memberiku resep berupa dua botol mini cairan peluruh ‘fosil telinga’ dan se-strip antibiotik untuk ditelan habis selama pengobatan berjalan. Tak kusangka, hanya karena masalah korek-mengorek, delapan ratus ribu harus keluar dari kocek [thanks God dibayarin kantor].

Budek bisa bikin aktivitas jadi mandek. Dengar musik jadi ngga berasa soul-nya, nonton film jadi ngga ngerti jalan ceritanya. Itulah sebabnya kita rela bayar mahal agar pendengaran kita bisa kembali normal; supaya semua yang merdu dan seru bisa kembali menderu. Namun ironisnya, saat indra pendengar kita baik-baik saja, kita sering menutup telinga terhadap kebutuhan sesama. Kita seringkali menolak ketika anak, ortu, atau sahabat ngajak curhat. “Sorry banget nih, aku lagi repot, saya lagi meeting, lain waktu saja gimana,” menjadi alasan klise kita.

Tak jarang aku melihat pemandangan ini: orang pacaran bukan dengerin cerita pacarnya, tapi malah sibuk main Faceb**k. Pasang kuping untuk dengerin balasan PING! dan menanti dentang-denting yang ngga penting. Hati-hati lho, jangan cuma gara-gara ngupload Inst*gram, pacarmu jadi geram.

Mata punya kelopak, mulut punya bibir, namun telinga tak memiliki pintu. Tuhan sengaja ciptakan telinga yang tak ditutup, agar kita bisa saling mendengarkan satu sama lain. Mendengar dengan telinga, bukan semata-mata diam sambil menganga. Mendengar dengan telinga juga bukan menguping. Mendengar dengan telinga, berarti mau memberi diri sepenuhnya untuk turut merasakan apa yang orang lain alami dalam hidupnya; mungkin itu tragedi, komedi atau drama romantika yang sedang ia hadapi. Yuk, mulai luangkan waktu untuk mendengar kisah orang-orang di sekitar kita!

Suara siapa yang sudah lama tak kau dengar?