Wednesday, March 18, 2015

Antara Baik dan Benar

Prriit… Dengan sekuat otot pipinya, Sang Polisi meniup peluit di tangan kiri, sementara tangan kanannya melambai mesra ke arahku yang baru saja melindas garis tebal di aspal. “Yaah…kena deh!” gerutuku dalam hati. “Siang Pak, boleh pinjam surat-suratnya?” sapa Sang Polisi sopan. “Bapak Mario Diwanto, mari ikut saya ke posko hansip di pojok sana,” ajaknya. Diselimuti rasa takut, akupun langsung ikut.
Seiring langkah ke posko, otak dan hati kecilku saling bersahut-sahutan. Hati kecil berkata, “Terakhir ditilang kamu nyuap, kali ini jangan lagi ya.” Otak bilang, “Kalau tilang lebih mahal gimana? Bulan ini kamu lagi banyak pengeluaran lho, bagi-bagi angpao Imlek, belum lagi mau liburan ke Jogja.” Suara hati kembali bicara, “Yang namanya kesalahan, ya harus dibayarlah!” Otak langsung menyambar, “Ngga usah gitu-gitu amatlah Bro, ini Indonesia!” Ooh tidak! Posko sudah kian dekat, namun belum ada kata sepakat. Que sera-sera, what ever will be will be.
Di dalam posko buluk itu, Sang Polisi mengeluarkan kertas dari kantong celananya. Ada yang biru dan ada yang merah. Lalu dengan wibawa ia berkata kepadaku, “Dendanya Rp 500 ribu, dibayar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ya Pak, daerah Pulo Gebang.” Sejenak aku membisu, “Walah…di belahan bumi sebelah mana tuh ya? Secara aku ‘kan anak gaul Gading yang hang out-nya cuma di MKG, MAG dan MOI. Pulo Gebang sih pernah denger, tapi Pengadilannya….walahualam deh.”
Belum sempat aku menjawab ya atau tidak, Pak Polisi melontarkan opsi kedua? “Atau Bapak mau bayar di Bank BRI aja? Pake slip yang biru ini, Rp 250 ribu.” Nah yang ini aku pernah dengar nih. Kata orang, kalau ditilang pilihlah slip yang biru, bayar di bank, beres! Selain praktis dan lebih ekonomis, juga turut serta melangsingkan ‘oknum berperut gendut’ di jalan raya. Tak diragukan lagi, ini pasti keputusan yang paling tepat, dunia dan akhirat.
“Kalau gitu saya pilih yang biru saja, Pak” jawabku percaya diri. “Kalau gitu sekarang sampeyan ke BRI Kampung Melayu, bayar di sana dan balik lagi kemari, saya tunggu,” sahutnya. Kampung Melayu?? Wah, kampung di pelosok mana lagi tuh? Disuruh bayar di sana dan balik ke sini sekarang juga? Mustahil! Saya ‘kan buta lalu lintas ibukota; yang ada nanti malah nyasar, bikin masalah tambah besar!
Lagi-lagi hening. Rongga mulutku terasa kosong, lidahpun kelu penuh ragu. Aku tak berdaya menjawab tawaran Pak Polisi. Eeh.. tiba-tiba Si bapak berseragam itu mengeluarkan opsi ketiganya. Dengan nada datar dan suara lirih, ia berbisik “Hmm…kalau mau dibantu Rp 200 ribu, bayar langsung di sini.” Lho… kok lebih gampang dan lebih murah? Apakah ini artinya ia minta disuap? Bukankah oknum macam ‘ni sudah punah sejak gubernur baru bertakhta?
Spontan aku melirik daleman dompetku. Astaga! Cuma ada secarik 50 ribuan, sepasang 20 ribuan, sehelai cebanan, plus beberapa lembar ribuan lusuh. Kalau ditotal, cuma cepek ceng lebih dikit euy! “Gimana ya nih?” rasa panik mulai menghantui. Tak ada jalan lain, inilah waktunya negosiasi. “Pak, cuma ada 70 ribu nih,” begitulah tawaran pertamaku. Sang Polisi langsung menyahut, “Kalau mau saya bantu, 200 ribu.” Tawaran keduaku, “Pak, 100 ribu nih,” seraya menyodorkan uang ke arahnya. Tanpa ekspresi dan basa-basi, tangannya langsung menyambut duit-duit butut itu, lalu bertanya dengan hangat, “Pak Mario, tadi Bapak mau ke mana?” “Ke arah Sunter, Pak,” balasku. Lalu iapun langsung memberi arahan, “Dari sini lurus, mentok ke kiri, lalu masuk tol Kebon Nanas ya, Pak. Hati-hati di jalan dan selamat siang.”  Makasih Pak Polisi yang baik hati J. Akupun segera kembali ke mobil, dan menuruti nasihatnya.
Di dalam ruang kemudi aku termenung, merenung. Is it good? Is it right? Si otak dan hati kecil kembali hadir. Otak bilang, “Itu baik kok, istilah kerennya win-win solution, simbiosis mutualisme. Pak Polisi hepi, kamupun hemat! Btw, bukankah semua orang melakukannya?” Hati kecil menyela, “Yes, mungkin itu baik, tapi apakah itu benar? Baik tidak selalu benar, dan memang faktanya, kebenaran seringkali tidak membawa ‘kebaikan’ bagi yang melakukannya. Namun, itu tidak berarti kebenaran tidak layak untuk diperjuangkan, bukan?”
Dari kejadian ini, aku belajar bahwa tidak mudah menjadi penegak kebenaran. Tahu persis mana yang benar dan mana yang salah, tidaklah otomatis membimbing kita ke jalan yang benar. Diperlukan upaya ekstra, perlu ambil risiko, perlu menyangkal diri, karena basically we are sinners, right? Only by His grace, kita mampu menjadi pelaku-pelaku kebenaran - not because our self-strength.
Oleh sebab itu, ketika di kepalamu ada suara-suara nyaring yang ‘terdengar baik’, diamlah sejenak; dan nantikanlah bisikan-bisikan lembut dari hati nurani, turutilah, karena itulah yang seringkali benar. Ketika arus hidup ini menggiringmu berbelok, melenceng kanan dan kiri; yakinlah bahwa Tuhan tetap ingin kau ada di jalan yang lurus. Karena dengan jalan itulah, kau sedang menegakkan kebenaran-Nya.

DITILANG berarti DIsuruh berhenTI meLANGgar, bukan untuk menghindar.
Jadi, bila esok kau ditilang, apa yang akan kau bilang?

One Thing

Bila detik ini Anda ditembak dengan sebutir pertanyaan, “Satu hal terpenting apa yang paling Anda inginkan?”. Apa jawaban Anda? Buat Anda yang masih jomblo, seorang pacar pastilah Anda incar. Buat Anda yang lima menit lagi memasuki ruang sidang akhir skripsi, pastilah Anda mendambakan lulus dengan mulus. Buat Anda pengidap kanker stadium empat, pastilah Anda berharap mukjizat itu nyata.
          Satu pertanyaan dan satu jawaban dari masing-masing kita bila dijumlahkan akan menjadi sebuah bilangan tak terhingga. Sebuah simbol infinit yang akhirnya tiada ujung. Tidak bisakah kita semua sepakat untuk memberi jawaban yang sama? Mungkinkah kita memimpikan cita-cita yang sama? Toh, kita sama-sama manusia, sama-sama lahir dari rahim mama, dibesarkan di pelukan dan didikan papa; sama-sama menghitam karena terik mentari yang sama; sama-sama akan mati di kala usia senja.
          “Apa yang paling penting?” Satu pertanyaan ini sungguh membuat saraf-saraf otakku bekerja sangat keras! Apakah yang terpenting untuk kita raih di dunia fana ini? Satu hal universal yang disepakati oleh semua insan penghuni bumi ini? Bukankah jauh lebih mudah memenuhi satu keinginan ketimbang banyak impian?
          Namun lagi-lagi, acapkali terbersit satu hal di benak, maka hal itu akan langsung ditentang oleh pikiran lainnya. Satu tampil, yang lain diam-diam menyempil. Tidak ada yang mau mengalah, apalagi harus kalah. Sampai akhirnya aku pun lelah, putus asa dan akhirnya jatuh pada sebuah kesimpulan bahwa, satu hal yang terpenting untuk diraih bukanlah seorang pacar idaman, bukan juga prestasi akademis, bukan harta, bahkan bukan juga mukjizat supranatural. Satu hal terpenting untuk diupayakan adalah kau dan aku punya satu pemikiran yang sama, satu visi yang sama, mengayuh satu ‘rakit’ di banjir yang sama; karena itulah satu-satunya cara agar kita bisa mewujudkan banyak hal indah di alam semesta kita.

“When we have ‘the same one thing’, we can make difference in many things.” 
Salam Satu Hati. One HEART. =p

Just Wait

“Kalo ngelodeh, udeh lodoh nih Mas.” “Kalo masak rendang, uda empuk bingits keles.” Begitulah dumelan dan curcol dua ibu-ibu muda di tengah kejenuhan menunggu laptop mereka diperbaiki di ruang IT helpdesk. Terdengar lucu dan apa adanya. Sebenarnya mereka kesal, tapi apa daya. Syukurlah ada gadget yang baru isi pulsa, jadi masih bisa ngerumpi dengan ibu-ibu rempong lainnya di dunia maya.
Menunggu: MEnanti, termeNUNG dan GUndah. Itulah kata-kata yang ter-bundling dalam kata menunggu. Sebagian orang tidak masalah bila harus menanti, karena “nanti" pasti akan datang. Sebagian orang mungkin justru  suka termenung, karena bisa sambil merenung. Namun adakah yang suka berada dalam keadaan gundah, gulana yang tak kunjung sudah? That's why nobody likes waiting.
Ada yang bilang, menunggu sama saja dengan membunuh waktu. Menunggu adalah aktivitas tak bermutu, yang hanya menghasilkan gerutu. Katanya, hidup itu terlalu singkat untuk menunggu. Namun anehnya, ada juga yang beranggapan bahwa menunggu sama dengan berlatih kesabaran. Setuju dengan yang manakah aku dan kamu?
Sayangnya, suka atau tidak suka, keseharian kita tak pernah lepas dari aktivitas membosankan yang satu ini. Pagi-pagi nunggu angkot untuk berangkat kerja (udah nunggu lama eh angkotnya penuh). Kudu nungguin lampu merah berubah jadi hijau (padahal udah telat abis). Lapar di tengah jam kerja tapi wajib nunggu bel jam makan siang (malah belum sempat sarapan lagee). Pas pulang kantor hujan ‘gerimis gila’ dan ngga punya payung, terpaksa nunggu reda deh. Belum lagi perjuangan menunggu si TransJakarta singgah di halte busway tercinta. Hadeeeuuh… Lelah menunggu?
Ternyata, menunggu bukan hanya kegiatan rutin harian semata, ia juga ‘menghantui’ seluruh agenda kehidupan kita. Ketika bayi, kita harus menunggu 9 bulan sebelum bisa keluar dari persembunyian kita. Saat batita, kita harus menunggu beberapa tahun agar bisa main tak jongkok bareng kakak dan gang-nya. Selesai tamat SD, kita harus menunggu 5 tahun lagi untuk bisa nembak SIM. Waktu kuliah, kita harus nunggu sekian semester, baru boleh pakai daster (baca: toga). Tatkala jomblo, kita harus tabah menunggu jodoh yang wajahnya masih tertutup cadar (alias samar-samar). Saat kita tua dan sakit-sakitan, kita menunggu kesembuhan itu segera datang. Tatkala waktu tutup usia tiba, kita pun menunggu ajal menjemput. Hmm… bila seluruh hidup kita seperti dipaparkan di atas, bukankah seharusnya kita sudah terbiasa (sabar) menunggu?
Tak dapat dipungkiri, menunggu itu butuh kesabaran dan kesabaran ada batasnya. Banyak hal-hal yang tak mungkin menunggu. Ada sesuatu yang mendadak, yang menuntut kita kudu seg’ra bertindak. Namun, acapkali banyak juga perkara dan prahara yang melampaui kekuatan kita. Tiada pilihan lain, yang dapat kita lakukan cuma menunggu dan hanya berdoa kepada Tuhan. Bahkan ‘tragisnya’, seringkali Tuhan juga minta kita untuk menunggu jawaban-Nya, bukan? Menunggu menyadarkan kita bahwa kita hanyalah manusia biasa, yang tidak tahu apa yang akan terjadi kelak, bahkan 5 menit ke depan. Itu sebabnya kita butuh Tuhan.
Apa sebenarnya motivasi dari artikel yang ‘muter-muter’ ini? Tujuan artikel ini bukanlah untuk mengajak kita menjadi pasif (pasrah tanpa inisiatif), melainkan untuk sekadar menggelitik kita, apakah kita sudah menjadi orang yang sabar menunggu? Sabar menunggu tanpa memburu-buru, sabar menunggu waktu-Nya Tuhan. Apakah Tuhan pernah terlambat? Ingat, segala sesuatu akan indah pada waktunya.
Tujuan lainnya adalah untuk menyemangati teman-teman yang sedang ‘kelelahan menunggu’. Hang on Guys! Bertahanlah! Bila memang kau yakin apa yang kau tunggu adalah seseorang atau sesuatu yang layak ditunggu, maka setialah menunggu. Bila ada hal lain yang bisa kau lakukan selain hanya menunggu, maka lakukanlah juga dengan sebaik-baiknya. Bila kau bimbang dan ragu dalam penantian panjang, berdoalah, tanyalah pada Tuhan dan taatilah jawaban-Nya. Akhirnya, bila ternyata jawaban Tuhan menyuruhmu berhenti menunggu dan menyuruhmu untuk ‘move on’, maka turutilah, karena Dia yang paling tahu apa yang terbaik untukmu, untuk kita semua.
waip-combek.jpg “Bersyukurlah bila masih ada kesempatan untuk menunggu, nikmatilah, karena itu berarti kita masih hidup dan memiliki pengharapan. Amin”

So, what are you waiting for? Happy waiting, GBU.

Payung Motivasi

Hari Rabu, 13 Juni, 2 tahun yang lalu; saya diutus untuk mengikuti sebuah seminar di bilangan Sudirman, menggantikan seorang rekan kerja yang berhalangan. “Controller Fits in Business”; demikian tajuk seminar tersebut. Hari ini, Selasa, 18 Agustus; tak satu pun materi tertinggal di memori; namun ada satu peristiwa sederhana untuk kita renungkan bersama.

Seperti seminar-seminar pada umumnya, saat sang narasumber berhenti bersuara; maka giliran para hadirinlah yang angkat bicara: sesi tanya jawab! “Bapak-Bapak dan Ibu yang terhormat, apakah ada yang ingin bertanya, atau sekadar memberi komentar atas topik yang barusan kita dengarkan?” demikian ucap Bapak moderator. Semuanya hanya terdiam, menanti, saling menatap, dan mengunci rapat-rapat bibirnya (mirip kayak kita kalau lagi P5M gini).

Tak habis akal, sang moderator kembali ‘melemparkan umpannya’. “Ya…begitu panjang dan lebar serta menarik sekali apa yang baru kita dengarkan tadi, apakah ada komentar dari Bapak/Ibu sekalian?” tanya sang moderator dengan penuh harap-harap cemas. Tiga detik, lima detik, lima belas detik detik, suasana tetap saja dingin. Sang moderator pun harus kecewa untuk kedua kalinya. Alhasil, tak ada sebutir pertanyaan pun terlontar, kecuali pertanyaan dalam hati sang moderator, “Mengapa hal ini menimpa dirinya?”  

Sesi-sesi berikutnya pun bernasib tak jauh beda. Antusiasme sang moderator hanya bertepuk sebelah tangan. Tidak terasa, sesi berikut adalah sesi terakhir sebelum makan siang. Sesi tersebut dibawakan oleh seorang Bapak, saya lupa namanya; yang saya ingat beliau adalah salah satu direktur sebuah perusahaan furniture terkemuka di neg’ri kita. Topiknya biasa saja, tidak ada yang istimewa, bukan pula hal baru. 45 menit berlalu, kata-kata dari sang narasumber pun berhenti, kini tibalah saat-saat yang dahulu dinanti (namun kini dibenci) oleh sang moderator, yaitu sesi tanya jawab.

“Luar biasa sekali apa yang baru saja kita dengar, Bapak/Ibu. Sebuah paparan komprehensif dan kaya akan ilmu yang sangat aplikatif. Saya yakin banyak dari kita yang punya pengalaman atau komentar terkait hal ini bukan? Saya buka sesi tanya jawab ini dengan dua orang penanya terlebih dahulu, silakan! ucap sang moderator dengan berlagak optimis. Namun, suasana kembali menjadi garing, tegang, keheningan itu terulang. Sampai suatu saat, tiba-tiba sang narasumber (Direktur Furniture tadi) kembali berdiri dan berkata, “Oh iya Bapak/Ibu, saya lupa, saya membawa hadiah menarik yang akan diberikan cuma-cuma, yaitu 10 buah payung untuk 10 penanya pertama.”

Tanpa dikomandoi, tanpa dipaksa-paksa; tiba-tiba para peserta yang ‘menjadi pemalu’ sejak pagi tadi serempak mengangkat tangannya tinggi-tinggi (termasuk juga saya). “Ya, Bapak yang di depan, silakan Pak… Bapak yang di pojok kanan atas…., Bapak yang di belakang mohon bersabar ya, Pak” sang moderator memandu. Begitu banyaknya tangan yang teracung, sampai-sampai tidak terhitung. Laris manis, 10 buah payung cantik ludes dalam hitungan detik.

Setidaknya ada dua pembelajaran yang saya dapat dari kisah dramatis ini. Pertama, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sama saja, semuanya suka hadiah langsung, apapun bentuknya. Pembelajaran kedua adalah kita mendengar bagaimana sebuah payung yang biasa dipakai di saat mendung, justru bisa mencerahkan hari sang moderator. Rupanya, payung telah berhasil me-MOTIVASI para peserta untuk menjadi berani, berani bertanya, berani malu, berani keluar dari zona nyaman mereka.

Setiap orang (tanpa terkecuali), butuh motivasi; meskipun adakalanya banyak orang tidak menyadari apa yang ia butuhkan. Motivasi dibutuhkan untuk berkreasi. Motivasi adalah motor untuk terus berinovasi. Motivasi penting saat kita menghadapi momen-momen ‘merasa ingin mati’.

Rekan kita, Meme menaruh foto mantan kekasihnya di meja kerja, karena setiap kali ia memandang foto tersebut, ia terpacu (bukan napsu ya). Samuel menulis kata-kata penyemangat di papan kecilnya, karena kata-kata tersebut mampu menyegarkannya di saat lelah. Yenni menempel kutipan ayat-ayat Alkitab di sekitar mejanya, karena itu mengingatkannya untuk memberi yang terbaik kepada Tuhan, melalui pekerjaannya. Yuli rela ditempatkan di tengah-tengah gadis putih oriental, karena itu memotivasinya (tenang Yul, oriental ‘bukan tandingan’ yang original). Dwi senantiasa mengingat wajah sang istri yang sedang hamil, karena itu membuatnya ingin, ingin memberi yang terbaik bagi istri dan calon bayinya. Itulah contoh-contoh motivasi, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (kayak lagi bahas policy asset ya?).

Jadi, apa itu motivasi? Menurut KBBI, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu, tujuan yang baik tentunya (kalau tujuannya “tidak baik” itu namanya modus). Motivasi, apapun definisi dan apapun rupanya tidaklah penting; yang penting adalah apakah kita sudah memilikinya?


“Orang yang termotivasi tidak selalu menjadi luar biasa,
namun orang yang termotivasi pasti tak mudah putus asa.”