Prriit… Dengan sekuat
otot pipinya, Sang Polisi meniup peluit di tangan kiri, sementara tangan kanannya
melambai mesra ke arahku yang baru saja melindas garis tebal di aspal.
“Yaah…kena deh!” gerutuku dalam hati. “Siang Pak, boleh pinjam surat-suratnya?”
sapa Sang Polisi sopan. “Bapak Mario Diwanto, mari ikut saya ke posko hansip di
pojok sana,” ajaknya. Diselimuti rasa takut, akupun langsung ikut.
Seiring langkah ke posko,
otak dan hati kecilku saling bersahut-sahutan. Hati kecil berkata, “Terakhir
ditilang kamu nyuap, kali ini jangan lagi ya.” Otak bilang, “Kalau tilang lebih
mahal gimana? Bulan ini kamu lagi banyak pengeluaran lho, bagi-bagi angpao
Imlek, belum lagi mau liburan ke Jogja.” Suara hati kembali bicara, “Yang
namanya kesalahan, ya harus dibayarlah!” Otak langsung menyambar, “Ngga usah
gitu-gitu amatlah Bro, ini Indonesia!” Ooh tidak! Posko sudah kian dekat, namun
belum ada kata sepakat. Que sera-sera,
what ever will be will be.
Di dalam posko buluk itu,
Sang Polisi mengeluarkan kertas dari kantong celananya. Ada yang biru dan ada
yang merah. Lalu dengan wibawa ia berkata kepadaku, “Dendanya Rp 500 ribu,
dibayar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ya Pak, daerah Pulo Gebang.” Sejenak
aku membisu, “Walah…di belahan bumi sebelah mana tuh ya? Secara aku ‘kan anak
gaul Gading yang hang out-nya cuma di
MKG, MAG dan MOI. Pulo Gebang sih pernah denger, tapi Pengadilannya….walahualam deh.”
Belum sempat aku menjawab
ya atau tidak, Pak Polisi melontarkan opsi kedua? “Atau Bapak mau bayar di Bank
BRI aja? Pake slip yang biru ini, Rp 250 ribu.” Nah yang ini aku pernah dengar
nih. Kata orang, kalau ditilang pilihlah slip yang biru, bayar di bank, beres!
Selain praktis dan lebih ekonomis, juga turut serta melangsingkan ‘oknum berperut
gendut’ di jalan raya. Tak diragukan lagi, ini pasti keputusan yang paling
tepat, dunia dan akhirat.
“Kalau gitu saya pilih
yang biru saja, Pak” jawabku percaya diri. “Kalau gitu sekarang sampeyan ke BRI
Kampung Melayu, bayar di sana dan balik lagi kemari, saya tunggu,” sahutnya.
Kampung Melayu?? Wah, kampung di pelosok mana lagi tuh? Disuruh bayar di sana
dan balik ke sini sekarang juga? Mustahil! Saya ‘kan buta lalu lintas ibukota;
yang ada nanti malah nyasar, bikin masalah tambah besar!
Lagi-lagi hening. Rongga
mulutku terasa kosong, lidahpun kelu penuh ragu. Aku tak berdaya menjawab
tawaran Pak Polisi. Eeh.. tiba-tiba Si bapak berseragam itu mengeluarkan opsi
ketiganya. Dengan nada datar dan suara lirih, ia berbisik “Hmm…kalau mau
dibantu Rp 200 ribu, bayar langsung di sini.” Lho… kok lebih gampang dan lebih murah?
Apakah ini artinya ia minta disuap? Bukankah oknum macam ‘ni sudah punah sejak
gubernur baru bertakhta?
Spontan aku melirik
daleman dompetku. Astaga! Cuma ada secarik 50 ribuan, sepasang 20 ribuan,
sehelai cebanan, plus beberapa lembar ribuan lusuh. Kalau ditotal, cuma cepek
ceng lebih dikit euy! “Gimana ya nih?” rasa panik mulai menghantui. Tak ada
jalan lain, inilah waktunya negosiasi. “Pak, cuma ada 70 ribu nih,” begitulah
tawaran pertamaku. Sang Polisi langsung menyahut, “Kalau mau saya bantu, 200
ribu.” Tawaran keduaku, “Pak, 100 ribu nih,” seraya menyodorkan uang ke
arahnya. Tanpa ekspresi dan basa-basi, tangannya langsung menyambut duit-duit
butut itu, lalu bertanya dengan hangat, “Pak Mario, tadi Bapak mau ke mana?”
“Ke arah Sunter, Pak,” balasku. Lalu iapun langsung memberi arahan, “Dari sini
lurus, mentok ke kiri, lalu masuk tol Kebon Nanas ya, Pak. Hati-hati di jalan
dan selamat siang.” Makasih Pak Polisi
yang baik hati J. Akupun segera kembali ke mobil,
dan menuruti nasihatnya.
Di dalam ruang kemudi aku
termenung, merenung. Is it good? Is it
right? Si otak dan hati kecil kembali hadir. Otak bilang, “Itu baik kok,
istilah kerennya win-win solution,
simbiosis mutualisme. Pak Polisi hepi,
kamupun hemat! Btw, bukankah semua
orang melakukannya?” Hati kecil menyela, “Yes,
mungkin itu baik, tapi apakah itu benar? Baik tidak selalu benar, dan memang
faktanya, kebenaran seringkali tidak membawa ‘kebaikan’ bagi yang melakukannya.
Namun, itu tidak berarti kebenaran tidak layak untuk diperjuangkan, bukan?”
Dari kejadian ini, aku
belajar bahwa tidak mudah menjadi penegak kebenaran. Tahu persis mana yang
benar dan mana yang salah, tidaklah otomatis membimbing kita ke jalan yang
benar. Diperlukan upaya ekstra, perlu ambil risiko, perlu menyangkal diri,
karena basically we are sinners, right?
Only by His grace, kita mampu menjadi
pelaku-pelaku kebenaran - not because our
self-strength.
Oleh sebab itu, ketika di
kepalamu ada suara-suara nyaring yang ‘terdengar baik’, diamlah sejenak; dan nantikanlah
bisikan-bisikan lembut dari hati nurani, turutilah, karena itulah yang seringkali
benar. Ketika arus hidup ini menggiringmu berbelok, melenceng kanan dan kiri;
yakinlah bahwa Tuhan tetap ingin kau ada di jalan yang lurus. Karena dengan
jalan itulah, kau sedang menegakkan kebenaran-Nya.
DITILANG berarti DIsuruh berhenTI meLANGgar, bukan
untuk menghindar.
Jadi, bila esok kau
ditilang, apa yang akan kau bilang?