Sayangnya,
cuma judulnya doang yang in English, sok-sok
mirip novel Narnia-nya C.S. Lewis; padahal isi ceritanya mah tetap ala J.S. Badudu. Berbeda dengan istriku @nidyamario yang fasih
British, bahasa inggrisku kritis. Itulah perbedaan antara lulusan FKIP dan didikan
Sesame Street. Let’s jump to the story!
Masa PSBB
yang berestafet dengan libur Lebaran, mengubah hidupku dari pria kantoran jadi lelaki
rumahan. Yang biasanya pulang malam, kini bisa buktikan betapa nikmatnya tidur
siang. Merasa bosan? Antara agak dan enggak.
Sebab bagiku yang suka lesehan (leha-leha sembari rebahan), yang namanya
liburan selalu terasa kurang, meskipun harus #dirumahaja.
Di suatu
pagi, tiba waktunya anak-anak mandi. Kami tetap berupaya mandi dua kali sehari,
meskipun sebagian dari kita berkata “cukup sekali saja” dengan alasan ‘new
normal’ (yang cuma mandi sekali ayo ngacung;p).
“Anak-anak, hari ini jadwal cuci mainan
ya, jadi kalian bisa main air dulu sebelum mandi,” seru istriku lantang. Pernyataan
itu disambut positif oleh Nol dan Ney. Tanpa disuruh, merekapun langsung
melangkah ke TKP.
Akupun
mengintip dari sela-sela pintu, menyaksikan serunya mereka berendam di ‘bathub’
yang sejatinya adalah ember mandi Nolan tatkala ia bayi. Karena sempit, harus
bergantian agar tak terhimpit. Seketika timbul rasa kasihan sekaligus suatu gagasan.
Mengapa tak beli kolam renang angin yang bisa ditaruh di halaman? Tanpa
menunda, segera kujelajahi t*k*pedia, mencari apakah barangnya tersedia.
Syukurlah, dengan budget yang pas-pasan, kutemukan kolam yang muat dua insan.
Jangan lupa beli pompanya juga ya!
Singkat
cerita, inilah hari yang sangat dinanti, because
is swimming day, yeay! Pagi-pagi kupompa kolamnya, kuisi airnya, dan tidak
lupa kububuhi sepertiga tutup botol cairan bernama D*ttol. Seperti yang kuduga,
anak-anak bangun lebih pagi, sarapan dengan cepat dan lebih kooperatif. Tanpa
perlu tarik urat, dalam sekejap mereka sudah siap. Anak-anak tak ubahnya dengan
kita, cenderung lebih patuh bila ada udang di balik batuh.
Byuur!!
Senang sekali melihat anak-anak tertawa cekikikan. Bermain air memang selalu
menyenangkan, meski hanya di lingkaran seluas kolam ikan. Luapan gembira di
wajah lugu mereka, meluber ke hati kami orang tua. Saking senangnya, kadang
ekspresi mereka kebablasan. Nol berteriak keras-keras hingga mengganggu
tetangga sekitar, Ney berdiri di dalam kolam yang berisiko membuat kaki
kecilnya terpeleset. Berulang-ulang diperingati, namun sepertinya tak masuk ke
hati. Untuk itu, kami lekatkan di dinding beberapa aturan dasar agar anak-anak
dapat tertib saat berenang. Last but not
least, salah seorang dari kami harus menjadi lifeguard di tepi kolam (kayak di serial Baywatch), guna memastikan
semua aman terkendali dan tak ada yang tenggelam di kedalaman 30 centi.
Bila
mandi jadi hal yang dihindari, kolam justru menggoda hati ‘tuk ceburkan diri.
Alhasil, waktu berenang jadi seperti nama restoran padang legendaris, pagi
sore. Satu hal yang disayangkan, andai saja kolamnya lebih besar, maka mama
papanya juga bisa berendam.
Kala
mentari sirna berganti purnama jingga, sebuah analogi datang, menghampiri
pikiran di ujung petang. The pool, the rules and the lifeguard ibarat tiga hal,
yaitu dunia tempat kita hidup, peraturan yang ada dan Tuhan Yang Mahakuasa.
Seperti
anak-anak, dunia ini sangat menyenangkan bagi sebagian besar kita. Kita tak
ingin pergi dari dunia, melangkah keluar pun ogah. Namun suka tidak suka, ‘pabila
‘malam’ tiba, kita harus keluar dari ‘kolam’, tidak bisa tidak. Jadi, pastikan
selama berada di ‘kolam’ kita menikmatinya, membuat air bergelombang riang, dan
membuat kehangatan bagi perenang lainnya. Sebuah anugerah kalau kita bisa terbahak-bahak
seperti Nolan dan Neya.
Agar memiliki
kehidupan yang baik, kita tidak boleh hidup sembarangan, harus taat aturan. Papan
aturan bisa berjuta rupa. Mulai dari yang sederhana seperti “jangan buang
sampah sembarangan”, nasihat orang tua, aturan keluarga, tata tertib perusahaan,
undang-undang pemerintah, hingga petunjuk hidup yang hakiki di tiap paragraf kitab
suci. Bila aturan dilanggar, maka ada konsekuensi yang tak bisa dihindar. Di
dunia yang ‘rusak’, taat aturan kerapkali membuat hidup jadi lebih pelik, tapi
yang terpenting kita sudah melakukan bagian kita.
Lifeguard,
pada konteks sebenarnya berarti penyelamat yang piawai berenang, biasanya
bertugas di pantai atau kolam renang besar, yang selalu stand by ketika ada yang butuh pertolongan. Namun dalam teks ini,
lifeguard = penjaga hidup. Yup, Tuhan
adalah penjaga hidup kita, bahkan penyelamat jiwa kita. Dia selalu mengawasi
kita di tepi kolam, setia menunggu lambaian tangan kita. Di pinggir kolam, sesekali
ia melempar senyum dan juga menegur kita kala melanggar aturan. Saat kita
tergelincir, terminum air atau nyaris tenggelam, tangannya akan memegang kita
erat-erat. Ia mampu menenangkan air yang berombak dan juga menjernihkan air
yang keruh. Dan bila ‘waktu
bermain telah habis’,
Ia akan menuntun kita pulang ke rumah-Nya, asalkan kita percaya pada-Nya.
Saat ini ‘kolam’
kita bersama sedang tercemar virus corona. Pandemi memaksa penghuni kolam pergi
satu demi satu, dan tidak kembali lagi. Banyak aturan yang dibuat agar virus
tak menyebar, namun ia masih terus beredar. Apa yang bisa kita lakukan? Salah
satunya adalah taati aturan yang ada, terus berdoa dan percaya pada Sang
Lifeguard yang berkuasa mengendalikan semua dan memulihkan pada waktunya. Amin.
Tuhan Yesus memberkati.
No comments:
Post a Comment